a

Bisnis Properti

Bisnis Properti merupakan salah satu investasi terbaik yang dilakukan orang kaya. Disini Anda bisa menemukan tips dan trik membeli dan menjual properti.

Tips dan Trik

Orang yang sukses dan kaya adalah orang yang tahu caranya menjadi sukses dan kaya. Disini akan dibahas secara detail tentang tips dan trik untuk menjadi sukses dan kaya.

Bisnis

Segala sesuatu yang berhubungan dengan bisnis. Disini akan dibahas tentang cara berbisnis, cara mengatur pegawai, dan trik-trik marketing.

Motivasi

Untuk bisa mencapai tujuan/goal, kita harus mempunyai motivasi yang kuat. Demikian juga pada saat kita frustasi dan putus asa, motivasi yang tepat akan membakar semangat kita.

Bisnis Internet

Dengan Bisnis Internet Anda bisa menjual segala sesuatu sampai ke pelosok dunia. Jika Anda ingin sukses dan kaya mulailah melirik bisnis internet.

Showing posts with label investasi. Show all posts
Showing posts with label investasi. Show all posts

Thursday, March 28, 2013

Pinjaman untuk Investasi


"Berutang adalah dosa". Mungkin sebagian dari Anda pernah mendengar jargon semacam itu. Lepas, apakah Anda memiliki keyakinan yang sama atau tidak, yang jelas, tidak ada satu kitab suci pun yang mengatakan utang adalah dosa. Tidak ada satu aturan hukum yang melarang orang untuk berutang. Yang dosa dan melanggar hukum adalah kalau ngemplang utang. Dalam pakem keuangan, utang malah dianjurkan sebagai salah satu cara meningkatkan produktivitas. Bahkan negara kesatuan RI sekalipun memiliki utang yang bejibun. Kalau tidak ditopang oleh utang, APBN akan jebol dan tidak memiliki kemampuan membiayai pembangunan. Jadi, kata kuncinya adalah produktivitas. Dengan kata lain, sepanjang utang itu memberikan nilai tambah dan manfaat ekonomis dalam pengguunaannya, maka utang merupakan tindakan yang sah-sah saja.

Lantas bagaimana kalau utang alias pinjaman itu peruntukannya untuk kepentingan pribadi? Tidak masalah. Sekali lagi, sepanjang utang digunakan untuk meningkatkan produktivitas dan memberikan nilai tambah ekonomi, maka utang boleh dilakukan. Sebagai misal, umpamakan Anda berbisnis kue. Anda membutuhkan modal kerja untuk membeli bahan baku, seperti tepung, telur, dan lain sebagainya untuk meningkatkan jumlah produksi. Selanjutnya, dengan produksi yang lebih besar, angka penjualan pun meningkat. Ujung-ujungnya keuntungan juga berlipat gand2. Atau lebih jauh lagi, bisnis kue Anda diminati banyak orang. Jika semula Anda hanya menjual kue di rumah, sekarang Anda berkeinginan memiliki toko. Anda boleh saja berutang atau meminjam kredit bank untuk membeli toko. Dengan catatan, nilai penjualan Anda harus lebih besar lagi, sehingga keuntungan pun meningkat juga. Dengan kata lain, kemampuan bisnis Anda menghasilkan keuntungan mampu mengembalikan pinjaman Anda.

Anda mungkin mengatakan bahwa hal seperti diuraikan tadi, sangat umum. Tidak ada yang istimewa dan banyak orang sudah melakukannya. Oke, Anda benar. Tapi, seperti telah diutarakan, hal yang dipaparkan tersebut hanyalah perumpamaan sederhana. Intinya, bagaimana dengan utang kita bisa meningkatkan produktivitas, termasuk dalam hal ini adalah produktivitas aset. Bagaimana konkretnya? Begini...

Coba cek aset yang Anda miliki, apa saja wujudnya dan bagaimana kinerjanya selama ini? Katakanlah, Anda memiliki rumah sebagai tempat berteduh dan wadah menjalin kasih keluarga. Lalu, apa nilai ekonomis lain yang dimiliki oleh rumah Anda? Anda akan mengatakan bahwa setiap tahun, harganya meningkat. Bisa karena lokasi tempat tinggal Anda yang strategis, kebetulan di dekat-dekat situ ada pembangunan baru yang mendongkrak harga tanah, dan lain sebagainya. Kalau setting-nya seperti itu, Anda termasuk beruntung. Namun bagaimana jika harga rumah di daerah tempat tinggal Anda ternyata segitu-gitu saja. Apa yang Anda lakukan? Berdiam diri? Jika sikap Anda seperti ini, maka Anda sebenarnya telah menjadikan rumah Anda sebagai aset tidak produktif. Rumah Anda akan terdepresiasi dan hanya menjadi biaya. Sebab, Anda pasti mengeluarkan biaya pemeliharaan setiap bulannya. Oleh karena itu, sebenarnya Anda bisa mempertirnbangkan untuk memproduktifkan rumah Anda. Ya, Anda pergi ke bank, pinjam kredit dan gunakan rumah Anda sebagai jaminannya. Lalu dana yang Anda peroleh dari bank itu dipergunakan untuk kegiatan ekonomis, apakah itu berbisnis atau bahkan melakukan investasi baru. Konkretnya, meminjam untuk kegiatan investasi.

Itu kalau Anda memiliki rumah. Bagaimana kalau ternyata Anda belum memiliki rumah? Hal yang lazim dipahami banyak orang, rumah bisa dimiliki dengan mengajukan KPR atau kredit kepemilikan rumah ke bank. Sepanjang penghasilan mencukupi untuk membayar angsuran, maka Anda bisa saja memperoleh KPR dan selanjutnya menempati rumah yang Anda inginkan. Tidak ada yang istimewa dengan skema ini.
Tapi, bagaimana jika yang Anda inginkan adalah rumah yang dibangun sendiri. Anda ingin membeli sebidang tanah terlebih dahulu dan selanjutnya baru membangun rumah di atas tanah tersebut. Padahal, Anda tidak memiliki tabungan dan Jana yang memadai. Apa yang bisa dilakukan? Seperti judul bab ini, Anda boleh meminjam untuk kegiatan investasi. Bagaimana caranya? Sekali lagi, cermati aset yang telah Anda miliki. Mungkin saja Anda memiliki kendaraan bermotor. Atau paling tidak Anda memiliki gaji yang sebagiannya Anda alokasikan untuk tabungan. Jika ya demikian, maka Anda bisa saja pergi ke bank, dan kredit multiguna. Beli sebidang tanah, dan kredit itu diangsur melalui potongan gaji Anda, yang selama ini Anda alokasikan untuk tabungan.

Hanya saja, biasanya bank tidak akan membiayai pembelian aset sebesar nilai aset. Bank hanya berkenan memberikan pembiayaan maksimal 70 persen. Sedangkan yang 30 persen lagi mesti dibiayai oleh kantong Anda sendiri. Anda mungkin akan mengatakan, tidak ada dananya. Jangan lupa, mungkin Anda memiliki kendaraan. Jadikan BPKB kendaraan itu sebagai jaminan untuk memperoleh pinjaman. Dengan kata lain, 30 persen dana pembelian tanah dibiayai oleh pinjaman yang dijamin oleh BPKB kendaraan, sementara 70 persen lagi dibiayai oleh kredit multiguna. Apakah mungkin hal semacam itu dilakukan? Sangat mungkin, namun dengan catatan. Artinya, gaji Anda diterima secara utuh, dalam arti Anda belum memiliki kewajiban-kewajiban untuk membayar utang. Kalaupun ada, nilainya tidak signifikan. Dengan kata lain, Anda masih memiliki penghasilan yang 30 persennya bisa dialokasikan untuk mengangsur kewajiban utang Anda ke bank.

Boleh jadi, setelah Anda hitung ulang, ternyata kemampuan penghasilan Anda terbatas. Jangan putus asa. Coba cermati kembali hitungan Anda, berapa tahun masa angsurannya? Anda bisa saja memperpanjang jangka waktu kredit Anda, sehingga jumlah angsuran yang dibayar setiap tahunnya menjadi lebih kecil. Pendeknya, hitung lagi sehingga jumlah angsuran setiap bulan tidak melebihi 30 persen penghasilan. Kalau belum cukup, jangka waktu kreditlah yang diperpanjang.

Tentu saja, di balik strategi berutang untuk investasi sebagaimana dipaparkan tadi, terkandung juga risiko-risiko. Misalnya, tiba-tiba Anda kehilangan pekerjaan dan atau jatuh sakit dan lain sebagainya, sehingga kemampuan membayar kembali utang menjadi terganggu. Bagaimana mengatasinya? Risiko semacam itu mesti dialihkan ke pihak asuransi_ Itu jawabannya. Dengan kata lain, ketika kegiatan Anda termasuk berutang mengandung risiko, maka belilah polis asuransi untuk meng-cover risiko tersebut. Singkatnya, utang untuk investasi bukanlah hal Karam. Namun, utang juga memiliki risiko tidak terbayar karena berbagai sebab. Untuk menyiasatinya, alihkan risiko ke perusahaan asuransi. Silakan mencoba.
by: Elvyn G. Masassya

Kredit untuk Apa?


Sebagian dari Anda pasti pernah menjadi debitur bank. Meminjam kredit untuk berbagai keperluan. Bisa untuk menambah modal kerja usaha, atau meminjam uang bank untuk melakukan investasi, pembelian barang modal, membangun pabrik, dan lain sebagainya. Tetapi, ada juga yang menggunakan fasilitas kredit bank untuk membeli rumah atau kendaraan. Apakah salah? Jelas tidak. Meminjam kredit bank merupakan hal lumrah, karena fungsi bank memang sebagai lembaga intermediary. Bank rnenghimpun dana masyarakat dan meminjamkan kembali ke kalangan yang lain.

Yang jadi issue adalah, apakah pola Anda meminjam kredit bank sesuai dengan peruntukannya? Apakah Anda memiliki kemampuan membayar kembali dibandingkan dengan jumlah pinjaman yang diberikan?. Atau apakah penentuan suku bunga dari pihak bank sudah memenuhi azas fairness? Dan atau sesuai dengan karakteristik, keuangan Anda? Hal-hal tersebut layak untuk dibahas, mengingat hubungan bank dengan nasabah/ debitur sebenarnya setara dan merupakan simbiosis mutualisme. Dus, perlu ada pemahaman bagaimana mestinya relasi yang adil antara bank dan debitur dalam konteks fasilitas pinjaman.

Ketika Anda hendak mengajukan pinjaman, tentunya sudah didasari oleh berbagai pertimbangan, bahwa kredit bank merupakan cara yang terbaik untuk mencapai tujuan keuangan Anda. Sebut saja, Anda memiliki tujuan keuangan berupa kepemilikan rumah. Jika Anda menabung, dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk bisa memiliki rumah. Misalkan harga rumah saat ini adalah Rp250 juta. Anda bisa menabung sekitar Rp 10 juta per bulan, Berarti Anda mesti menunggu selama 25 bulan, atau lebih dari 2 tahun. Padahal, 2 tahun kemudian, harga rumah tadi sudah melonjak paling tidak 20-30 persen, sebagai pengaruh inflasi dan hal-hal lain. Dus, rumah tidak akan pernah bisa dimiliki, karena kemampuan Anda menabung berkejar-kejaran dengan kenaikan harga rumah. Oleh karena itu, salah satu solusinya adalah membeli rumah dengan menggunakan fasilitas kredit dan kemudian kredit tersebut diangsur sesuai dengan kemampuan keuangan Anda.

Untuk memiliki rumah melalui kredit bisa menjadi solusi yang tepat. Namun, jangan pernah menggunakan kredit modal kerja untuk membeli rumah. Ini akan menjadi malapetaka bagi Anda. Sebab, karakteristik angsuran kredit modal kerja sangat berbeda dengan kredit kepemilikan rumah. Oleh karena itu, jika peruntukannya adalah membeli rumah, rnaka. Anda mesti menggunakan kredit kepemilikan rumah alias KPR. Pertanyaannya, bagaimana skim KPR yang adil? Berapa tahun jangka waktunya? Bagaimana tingkat bunganya? Bagaimana pula fleksibilitasnya?

Mengenai jangka waktu, sebenarnya bukan masalah besar. Jika tujuan Anda adalah mengguunakan KPR untuk membeli rumah yang akan ditempati, maka jangka waktu akan menjadi variabel independen terhadap kemampuan Anda membayar kredit. Artinya, jika kemampuan membayar Anda cukup besar, jangka waktu pinjaman bisa lebih pendek. Sementara, jika kemampuan membayar Anda terbatas, jangka waktu kredit bisa lebih panjang, asalkan kredit tersebut bisa dilunaskan sebelum Anda memasuki usia tidak produktif. Dengan kata lain, ketika penghasilan berkurang, Anda tidak memiliki lagi kewajiban untuk mengangsur kredit rumah. Secara kelaziman, jangka waktu kredit untuk rumah bisa mencapai 5-10 tahun sesuai dengan kemampuan Anda. Dan jika kredit tersebut bisa tunas di kala Anda masih produktif malah akan lebih bagus. Kenapa? Karena setelah kredit rumah lunas, harga rumah yang Anda tempati telah mengalami peningkatan. Pada gilirannya, Anda dimungkinkan untuk menjual rumah tersebut dan pindah ke rumah yang lebih besar lagi.

Bagaimana dengan tingkat bunga? Jika Anda berpenghasilan tetap, akan lebih bagus Anda memilih tingkat bunga tetap, agar lebih mudah mengelola angsurannya. Tetapi, jika pilihannya bunga tetap, ada baiknya jangka waktu kredit tidak terlalu panjang. Sebab, hitungan bunga tetap adalah dari pokok pinjaman. Jadi jika pinjaman, katakanlah Rp250 juta, dengan bunga tetap 10 persen per tahun, maka walaupun Anda sudah mengangsur sekian tahun, tetap saja hitungan bunganya adalah cbri pokok pinjaman semula.

Pilihan bunga tetap akan baik, jika Anda yakin bahwa tingkat bunga akan terus meningkat. Sementara itu, di sisi lain, alternatif bunga mengambang akan baik, jika Anda memiliki keyakinan bahwa tingkat bunga akan terus menurun. Selain itu, perhitungan bunganya dikaitkan dengan saldo pinjaman. Artinya, jika di tahun pertama saldo Anda adalah Rp250 juta, maka setelah mengangsur setahun dengan angsuran pokok umpamakan Rp5 juta/bulan, maka pada tahun kedua, saldo pinjaman Anda tinggal Rp190 juta, dan bunga pinjaman diperhitungkan terhadap saldo pinjaman dimaksud.

Mana yang terbaik? balik lagi, bergantung pada kemampuan finansial Anda dalam mengangsur dan keyakinan Anda terhadap perkembangan tingkat bunga dari tahun ke tahun. Suku bunga tetap akan lebih rendah risikonya, lebih terkelola, namun bisa juga ongkosnya menjadi lebih mahal, sebab bisa jadi Anda kehilangan opportunity untuk menikmati bunga yang lebih rendah. Suku bunga mengambang, risk-nya bisa lebih tinggi, tetapi ongkosnya bisa lebih murah, jika ternyata suku bunga mengalami penurunan.

Yang terakhir adalah coal fleksibilitas. Artinya, apakah Anda bisa melunasi kredit kapan saja? Atau menurunkan saldo lebih cepat tanpa dikenakan penalti? Dalam hal ini tiap bank memiliki kebijakan yang berbeda. Lazimnya, jika pinjaman Anda dalam bentuk angsuran tetap dengan bunga tetap, biasanya jika dilakukan pelunasan dipercepat, akan dilakukan perhitungan ulang. Sementara, jika Anda menggunakan tingkat bunga mengambang, dengan saldo yang terus menurun, maka pelunasan pinjaman dipercepat akan lebih mudah. Sebab, hitungan bunga semata-mata berdasarkan saldo pinjaman.

Simpulannya, jika Anda memiliki keyakinan terhadap kemampuan finansial Anda dan Anda bemaksud untuk sewaktu-waktu melunasi pinjaman Anda, termasuk pinjaman dalam bentuk KPR, maka sejak awal harus sudah menyampaikannya pada pihak bank, sehingga fasilitas kredit yang diberikan pun akan lebih fleksibel untuk mengakomodasi kepentingan Anda. Selamat mencoba.
by: Elvyn G. Masassya

Seni Mengatur Tabungan


Rasanya hampir setiap orang saat ini memiliki tabungan. Tidak ada lagi yang menyimpan uang di bawah bantal. Yang membedakan hanyalah jumlah uang yang ditabung. Juga pilihan banknya. Ada yang menabung di bank konvensional, ada pula di bank syariah. Lebih dari itu, jika ingin menabung di bank konvensional, pilihannya juga sangat banyak. Dewasa ini, ada sekitar 130-an bank di Indonesia, mulai dari bank swasta, bank asing, bank milik pemerintah dan juga bank-bank daerah. Bank apa pun yang dipilih sah-sah saja, karena pemilik uang memang memiliki hak memilih bank yang dipercayainya.

Tapi, lepas dari itu, persoalan yang jauh lebih mendasar sebenarnya bukanlah bagaimana memilih bank, tetapi bagaimana mengatur tabungan itu sendiri agar memberi manfaat kepada para pemiliknya. Pengaturan di sini bukan saja dalam hal berapa jumlah dana yang ditempatkan, namun bagaimana dan kapan menarik atau menyimpan dana dalam tabungan serta pola penggunaannya. Ini penting, karena jika sekadar menempatkan dana dalam tabungan, tetapi setiap saat ditarik, maka tidak ada bedanya dengan menempatkan uang dalam dompet. Oleh karena itu, tidak ada salahnya kita cermati lagi seperti apa idealnya mengelola tabungan.

Fungsi dasar tabungan sebenarnya adalah dana untuk berjaga-jaga. Ini yang membedakannya dengan, misalnya, deposito berjangka atau surat berharga. Jadi, tabungan tidak sepenuhnya merupakan investasi. Kenapa? Karena investasi lazimnya memiliki jangka waktu serta imbal hasil yang diharapkan. Deposito berjangka, umpamanya, bisa berjangka waktu 6 bulan atau setahun. Tingkat bunganya juga lebih tinggi dibandingkan tabungan. Kalau deposito ditarik sebelum jatuh tempo, maka pemilik dana akan terkena penalti. Hal seperti itu tidak berlaku bagi tabungan. Seperti umpama minuman ringan, tabungan bisa ditarik kapan saja dan di mana saja.

Itulah sebabnya, tabungan tidak memenuhi kriteria untuk disebut sebagai alas investasi.
Di samping itu, sesuai dengan kaidah keuangan, penghasilan seseorang akan dialokasikan untuk konsumsi, tabungan, investasi, dan proteksi. Dus, tabungan pun hanya layak diberi status sebagai tempat sementara menyimpan dana sebelum akhirnya digunakan untuk konsumsi. Agar tabungan tersebut tidak sekadar menjadi cadangan bagi belanja konsumsi, maka, tabungan pun mesti dipilih menjadi tabungan sebagai dana berjaga-jaga dan tabungan untuk menyimpan dana yang peruntukannya bagi konsumsi.

Tabungan untuk berjaga-jaga adalah dana yang disisihkan dari penghasilan yang peruntukannya untuk hal-hal yang tidak diduga, seperti biaya ke dokter, biaya untuk kado perkawinan, dan segala macam kebutuhan yang sifatnya tidak rutin. Jadi, setiap Anda gajian, maka harus ada sekian persen yang dimasukkan dalam tabungan untuk berjaga-jaga. Manfaatnya adalah, jika dalam bulan bersangkutan Anda sehat-sehat saja atau tidak ada undangan perkawinan, sehingga Anda tidak perlu menyiapkan kado dan lain sebagainya, maka akan ada dana yang tersisa. Nah, dana yang tidak terpakai tersebut pada gilirannya bisa dipindahkan peruntukannya untuk tambahan investasi. Konkretnya, katakanlah setiap bulan Anda mengalokasikan 30 persen dari penghasilan untuk investasi. Namun, karena ada sisa tabungan untuk berjaga-jaga yang tidak terpakai, misalnya, sebesar 5 persen dari penghasilan, maka Anda bisa menambahkannya ke dalam alokasi dana investasi, sehingga menjadi 35 persen.

Lalu bagaimana pula dengan tabungan yang peruntukannya untuk membiayai konsumsi? Tabungan untuk konsumsi sebenarnya hanyalah cara untuk memudahkan pengelolaan uang bulanan. Ketimbang memasukkan semua dana dalam dompet, yang bukan saja tidak aman, tetapi juga kurang logis jika hal semacam itu dilakukan saat ini. Kenapa? Ya jelas, memangnya Anda mau menghabiskan anggaran untuk satu bulan dalam satu hari? Lepas dari itu, toh tidak juga semua transaksi mesti dilakukan dengan uang tunai. Dus, kenapa pula mesti memegang uang tunai banyak-banyak?

Dengan paradigma seperti itu, Anda boleh mempertimbangkan untuk membiarkan tabungan konsumsi Anda tetap ada di bank. Lalu bagaimana Anda mesti membayar ketika berbelanja? Sebagaimana prinsip pengelolaan keuangan, kebutuhan belanja Anda yang rutin tentunya sudah diketahui sejak awal dan mungkin Anda malah memiliki catatan belanja barang apa saja yang boleh dilakukan untuk setiap bulannya. Nah, dalam melakukan transaksi tersebut, bisa saja Anda menggunakan kartu kredit. Lalu setiap akhir bulan atau tatkala kartu kredit jatuh tempo, Anda lunasi dengan mengambil dana yang ada di tabungan. Dengan cara semacam itu, Anda juga akan lebih mudah mengevaluasi pengeluaran Anda.

Sementara itu, untuk pengeluaran lain, seperti membeli bensin atau ongkos transportasi dan uang saku harian, Anda boleh menempatkannya di dompet Anda. Pertanyaannya, berapa banyak tabungan mesti diambil? Berapa sering? Yang lazim adalah, uang tunai yang Anda pegang, baik itu di dompet atau Anda simpan di tempat lain, peruntukannya tidak lebih dari penggunaan biaya transportasi, makan, dan hal-hal lain yang merupakan kebutuhan rutin mendasar, maksimal selama seminggu. Kenapa seminggu? Lebih dari itu, uang tunai yang Anda pegang akan cukup besar, dan Anda berpeluang membelanjakannya untuk hal-hal yang tidak direncanakan. Selain itu, dengan uang tunai yang berlebih Anda juga memiliki risiko kehilangan uang, misalnya dompet Anda hilang dan lain sebagainya.

Dari paparan ini jelas tabungan memang bukan sebagai alat investasi, melainkan hanya untuk berjaga-jaga serta tempat sementara menyimpan dana sebelum dipergunakan untuk membiayai konsumsi. Namun, keberhasilan mengelola tabungan akan sangat bergantung pada bagaimana Anda mendisiplinkan diri untuk konsisten pada pola yang telah Anda buat. Karena kuncinya bukanlah pada pola atau rencana yang Anda susun, melainkan pada implementasinya. Jika Anda sudah mampu mengimplementasikan rencana yang Anda susun, percayalah, hal yang sama juga akan mampu Anda terapkan untuk investasi Anda yang lain. Misalnya, tidak menarik deposito berjangka sebelum jatuh tempo, menempatkan sebagian dana untuk membeli saham dan tidak tergoda menjualnya ketika Anda ingin membeli barang-barang yang lain. Sekali lagi, memahami pengelolaan tabungan yang optimal hanyalah satu hal. Hal lainnya kembali berpulang pada diri Anda.
by: Elvyn G. Masassya

Ketika Bunga Deposito "Berguguran"


Jika Anda mengikuti perkembangan sektor perbankan, akhir-akhir ini, pasti sudah mendengar bahwa bank-bank berskala besar bersepakat untuk menurunkan bunga deposito menjadi maksimal 8 pct per tahun. Angka 8 pct itu diperoleh dari tingkat bunga S131 rate plus 1,5 pct. Jadi, kalau SBI rate adalah 6,5 pct, maka bunga deposito maksimal 8 pct. Namun, itu pun dengan catatan, bahwa yang bisa menikmati bunga 8 pct itu adalah para deposan besar dengan jumlah dana tertentu. Biasanya di atas Rp1 miliar. Sebelumnya, kalangan ini bisa memperoleh bunga deposito sebesar 10 pct lebih. Bahkan ada yang mendapatkan 12 pct pada bank-bank tertentu. Tetapi, di sisi lain, para deposan kecil yang dananya hanya berkisar di angka jutaan dan puluhan juta, sudah sejak lama hanya mendapatkan imbalan bunga yang rendah. Umumnya adalah sebesar penjaminan LPS atau bahkan di bawah itu.

Boleh jadi, cukup banyak kalangan yang mempertanyakan, kenapa bank-bank mesti menurunkan bunga? Jawabannya sederhana. Penurunan bunga dana diharapkan akan menurunkan bunga pinjaman, sehingga kredit akan mengucur dan sektor ril bergerak. Lalu pada gilirannya ekonomi akan bertumbuh. Tapi, apakah realitasnya demikian? Dibutuhkan diskusi yang panjang untuk memastikan bahwa asumsi semacam itu akan benar-benar terjadi. Sebab, penurunan bunga kredit tentu hanya akan terjadi, selain bunga dana turun juga jika bank-bank melakukan efisiensi, dan kemudian risiko di sektor riil itu sendiri mengalami penurunan. Sehingga, spread antara bunga dana dan bunga pinjaman menjadi lebih kecil. Apakah faktanya seperti itu, kita lihat saja nanti beberapa bulan ke depan.

Namun, lepas dari tujuan penurunan bunga deposito yang diharapkan berdampak pada penurunan bunga pinjaman, tentunya hal yang lebih pas untuk dibahas adalah dampak dari penurunan bunga deposito itu sendiri. Yang jelas, bagi para sebagian besar deposan, penurunan bunga deposito itu merupakan penurunan pendapatan. Tetapi, bagi sebagian lagi, mungkin imbal hasil bukan merupakan faktor utama. Kalangan ini juga mempertimbangkan faktor risiko dan pelayanan yang diberikan oleh bank. Lalu bagaimana dengan Anda?

Sebagaimana diketahui, jika penempatan dana dalam bentuk deposito merupakan bagian dari investasi, tentu penurunan bunga tersebut layak untuk direview. Pertama, berapa besar dampak penurunan tersebut? Apakah mengganggu total pendapatan? Kedua, bagaimana pengaruhnya terhadap risiko investasi Anda. Ketiga, bagaimana respons yang selayaknya dilakukan?

Mengenai pertanyaan pertama, dampak terhadap pendapatan. Tentu saja bagi setiap orang berbeda-beda. Artinya, jika deposito Anda berjangka waktu satu tahun dan sudah ada di bank sejak lama, dan belum jatuh tempo dalam waktu dekat, maka Anda tidak perlu khawatir. Sebab, bunga yang Anda peroleh akan tetap sama dengan sebelumnya, karena deposito Anda toh sudah "terikat kontrak" untuk diberikan bunga yang lebih tinggi ketimbang yang saat ini berlaku. Tetapi, jika deposito Anda berjangka waktu satu bulan, maka ketika deposito tersebut diperpanjang, tentunya akan dikenakan bunga yang baru, yang notabene lebih rendah dibandingkan sebelumnya.

Dus, dalam empat bulan ke depan, untuk tahun 2009 misalnya, pendapatan bunga deposito Anda akan lebih sedikit. Berapa sedikit? Umpamakan deposito Anda adalah Rp1 miliar. Lalu sebelumnya Anda mendapatkan bunga 10 pct per tahun, maka untuk bulan-bulan ke depan, bunga yang Anda peroleh maksimal 8 pct, berarti ada pengurangan 2 pct. Dalam angka yang lebih konkret, jika sebelumnya memperoleh Rp100 juta per tahun gross atau Rp8,3 juta per bulan, maka nantinya Anda hanya akan mendapatkan bunga deposito sebesar Rp80 juta per tahun gross atau Rp6,6 juta per bulan. Dengan kata lain, Anda mengalami potensi penurunan pendapatan sebesar Rp1,7 juta per bulan. Sehingga untuk 4 bulan ke depan, potensi income yang hilang adalah Rp6,8 juta. Apakah ini signifikan? Bisa ya dan bisa tidak. Bergantung pada masing-masing orang.

Namun, yang jauh iebih penting adalah, kalau Anda tetap menempatkan dana di bank dengan bunga yang sama dengan bank lain, yang semestinya menjadi perharian adalah risiko pada bank tersebut. Bank A dan Bank B sebenarnya memiliki kualitas pengelolaan yang berbeda. Sehingga risikonya juga berbeda. Jadi, kalau bank A dan bank B memberikan bunga yang sama, tentunya Anda mesti memilih bank yang risikonya lebih rendah dan pelayanan lebih baik. Sebab, tingkat bunga sebenarnya merupakan cerminan dari risiko dari masing-masing bank.

Hal itu sekaligus menjawab pertanyaan kedua, yakni tentang bagaimana dampak penurunan bunga terhadap risiko investasi. Risiko adalah lawan dari imbal hasil atau tingkat bunga. Kalau imbal hasil rendah, tentu risiko juga mesa rendah. Jadi, ketika Anda hendak menempatkan deposito di sebuah bank, dan kalau tingkat bunga di antara bank-bank tersebut sama, maka agar deposito Anda tidak mengalami peningkatan risiko, pilihan terhadap bank terbaik merupakan hal mutlak. Dengan kata lain, bukan masalah Anda hanya mendapatkan bunga deposito 8 pct, sepanjang bank Anda masih lebih bagus dibandingkan bank lainnya.

Yang terakhir adalah bagaimana merespons penurunan bunga tersebut terhadap portofolio investasi Anda secara menyeluruh? Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, jika potensial income yang hilang tidak terlalu signifikan, tentu bukan masalah untuk tetap menempatkan dana di deposito. Apalagi deposito merupakan jenis investasi yang paling likuid dan rendah risikonya dibandingkan jenis investasi yang lain. Namun, Anda tentu juga mesti melihat aspek horizon investasi. Jika sebagian investasi Anda adalah berjangka menengah panjang, maka menempatkan dana di deposito dengan tingkat bunga rendah untuk jangka panjang, bukanlah pilihan pas. Dengan kata lain, jika tetap ada deposito maka mesti berjangka waktu pendek. Sebab, kalau suatu ketika bunga deposito meningkat, Anda masih memiliki kesempatan untuk bisa menikmati bunga tinggi, karena deposito Anda akan mengalami penyesuaian tingkat bunga.

"Tabungan" Lebaran


Tampaknya pepatah bahwa permainan uang akan terus ada sepanjang peradaban manusia, bukanlah isapan jempol. Kita berkali-kali dikejutkan oleh peristiwa money game yang terus berulang, termasuk dalam skala seperti yang dilakukan oleh Madoff dan juga skema ponzi. Belum lama ini, modus yang mirip kembali mengemuka di daerah Jawa Barat. Seseorang melakukan pengumpulan dana dari masyarakat untuk kemudian dijanjikan mendapatkan hasil berlipat ganda di mana hasil investasinya akan dikembalikan kepada para peserta menjelang Lebaran. Konon, pengumpulan dana tersebut diistilahkan sebagai "tabungan" Lebaran. Namun, realitasnya, yang terjadi bukannya peserta mendapatkan imbal hasil, melainkan dana yang telah dikumpulkan raib tak berbekas. Dan sang penghimpun dana, saat ini meringkuk di tahanan polisi.

Kenapa hal semacam itu terus terjadi? Bagaimana sang pelaku bisa leluasa menjalankan modus operasinya? Dan lazimnya hanya akan terkuak tatkala "investasi" yang dilakukannya mengalami kegagalan? Coba kita lihat kasus yang di Jawa Barat tersebut. Sang pelaku sebenarnya beroperasi seperti bank. Ia mengumpulkan dana secara rutin dari masyarakat dalam jumlah tidak terlalu besar. Namun karena pengumpulan dana dilakukan secara terus-menerus maka dana tersebut berakumulasi. Ini persis seperti menghimpun dana tabungan. Namun tentu saja ilegal. Karena yang diperkenankan menghimpun dana masyarakat hanyalah bank dan mesti mendapatkan izin dari Bank Indonesia.

Lalu kenapa yang bersangkutan bisa melakukan hal tersebut? Jelas, karena ia tidak menyebut dirinya sebagai bank. Namun yang bersangkutan bergerak seperti lembaga investasi atau fund manager dan boleh jadi, seolah-olah pengumpulan dana tersebut disebut sebagai arisan investasi. Konkretnya, yang bersangkutan menawarkan imbal hasil tertentu dari dana yang dihimpun untuk kemudian dikembalikan pada saat menjelang Lebaran. Dan bagi "orang-orang" kecil, ide semacam itu tentu bisa sangat menarik. Sebab, iming-iming yang diberikan adalah sejumlah uang untuk Lebaran.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana yang bersangkutan bisa "memutar" dana yang dihimpun dan kemudian dikembalikan kepada peserta dalam jumlah yang menarik. Apalagi, konon kabarnya, pola semacam itu sudah berlangsung cukup lama dan selama ini semuanya berjalan lancar. Mudah ditebak, dana yang dihimpun sebenarnya oleh si penghimpun dipakai sebagai modal kerja untuk kegiatan bisnis. Apa pun itu jenis bisnisnya. Jika kondisi ekonomi sedang baik dan bisnis berkembang pesat, tentu bukan hal sulit untuk mendapatkan keuntungan. Berapa besar keuntungannya? Jika dalam beberapa tahun terakhir bunga kredit bank adalah sekitar 15 persen per tahun, tentu bisnis yang dijalankan mestinya bisa memberikan keuntungan di atas 15 persen. Nah, dengan hitungan sederhana seperti itu, tentu bukan hal sulit untuk berbagi keuntungan dengan para pemilik dana yang telah "meminjamkan" dananya dalam bentuk tabungan Lebaran. Dengan kata lain, yang bersangkutan bisa saja memberikan imbal hasil di atas 10 persen per tahun, kepada pemilik dana. Lalu, kenapa pada tahun ini gagal? Karena kondisi ekonomi memang tengah buruk, sehingga bisa jadi, keuntungan dari bisnis yang dijalankan sangat rendah atau bahkan merugi, sehingga yang bersangkutan tidak memiliki dana cukup untuk bisa dibagikan sebagai kontra prestasi bagi para pemilik dana.

Itu adalah asumsi jika dana yang dihimpun digunakan secara benar, yakni untuk menjalankan bisnis. Dan itu bisa diketahui dari persentase imbal hasil yang dibagikan kepada peserta, yakni, seperti contoh di atas adalah sekitar 10-15 persen per tahun. Bagaimana jika imbal hasil yang dijanjikan jauh di atas itu? Katakanlah sekitar 50 persen per tahun, atau lebih besar. Jelas, tidak mudah mencari bisnis yang bisa menghasilkan keuntungan sebesar itu. Dengan kata lain, bukan tidak mungkin dana yang dikumpulkan dari peserta sebenarnya bukan untuk bisnis, tetapi dikelola seperti skema ponzi atau pola rantai, di mama dana peserta baru digunakan untuk membayar ke peserta lama. Begitu seterusnya. Dan pola ini akan menemui jalan buntu, ketika peserta baru sudah tidak ada lagi. Sehingga dana yang tersedia sudah tidak mencukupi untuk dipakai membayar ke peserta lama. Nah, apakah pola semacam itu yang terjadi? Kita belum tahu, namun melihat gelagatnya, hampir semua kasus penipuan penghimpunan dana untuk investasi "bohong", apa pun jenis dan namanya menggunakan modus seperti itu.

Dari fenomena yang sekarang mengemuka kembali di Jawa Barat itu menunjukkan bahwa sepanjang masyarakat pemilik dana masih tergiur dengan iming-iming hasil investasi besar, maka skema ponzi dan sejenisnya berkemungkinan untuk terus ada. Dus, upaya menghentikan investasi "bohong" seperti "tabungan" Lebaran itu, sebenarnya ada di tangan masyarakat selaku pemilik dana. Dalam investasi tidak ada "makan siang gratis". Tidak ada potensi imbal hasil besar yang tidak diikuti oleh risiko besar. Apalagi, jika pengelolaan dana tidak dilakukan secara transparan, bisa dipastikan pasti ada sesuatu di balik pengelolaan dana tersebut. Oleh karena itu, jika Anda tidak ingin menjadi korban berikutnya, maka jika ingin berinvestasi atau ketika mendapatkan tawaran-tawaran semacam itu, mestinya ada beberapa hal yang mesti dipertimbangkan dan dicermati.

Pertama, cek aspek legalitas dari lembaga yang menawarkan. Apakah yang bersangkutan memiliki izin atau tidak. Kedua, cek mekanisme lembaga yang menawarkan produk investasi itu dalam "memutar" dana Anda. Jika tidak ada transparansi dan tidak ada logika dalam penjelasannya, boleh dibilang, Anda sedang memasuki "mulut singa"; bersiap-siap suatu ketika untuk kehilangan dana. Ketiga, investasi apalagi jika menempatkan dana pada satu pihak, sangat didasarkan atas kepercayaan dan track record dari si penyelenggara investasi. Kalau Anda tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai sepak terjang si penyelenggara, sebaiknya hindari menempatkan dana di situ. Keempat, lembaga penyelenggara investasi bukanlah sinterklas atau yayasan yang berbagi sedekah kepada Anda. Tetapi bisa jadi sebaliknya, apalagi kalau lembaga penyelenggara investasi itu hanya sekadar memberi janji tapi tidak bisa menunjukkan hal-hal sebagaimana telah diutarakan.
by: Elvyn G. Masassya

Budaya Menabung


Coba cek buku tabungan atau rekening tabungan Anda, ada berapa dana tersisa di dalamnya? Bagaimana perasaan Anda setiap melihat angka nominal yang tertera dalam buku tabungan itu? Puas? Atau merasa tabungan Anda terlalu sedikit, atau Anda ingin nilai tabungan lebih besar lagi? Wajar, kalau berperasaan seperti itu. Sudah merupakan hukum alam, setiap orang ingin memiliki uang banyak, walau bagi sebagian kalangan, tidak tahu uang tersebut mau diapakan. Namun, lepas dari itu, secara umum, orang-orang ingin memiliki nilai tabungan yang besar. Setidaknya untuk berjaga-jaga atau menyiapkan dana untuk hari tuanya. Masalahnya, tidak setiap orang memiliki tabungan besar. Paling tidak, jika dibandingkan dengan penghasilan yang dimilikinya. Singkat kata, dalam keseharian, sebagian penghasilan habis tanpa bekas. Yang mengalir ke tabungan sangat sedikit. Kenapa bisa demikian? Karena tidak ada kesungguhan untuk menyisihkan penghasilan ke dalam tabungan. Dan akhirnya, hanya bisa menyesal, ketika dibutuhkan dana dalam jumlah besar, nilai tabungan tidak memadai.

Apakah sulit menaikkan jumlah tabungan? Sama sekali tidak. Menabung, hakikatnya sama seperti melakukan kegiatan lain. Sama seperti keinginan untuk membeli barang-barang bermerek. Kok bisa? Sangat bisa, karena masalahnya bukan pada kemampuan, melainkan kemauan. Kalau Anda mampu mengontrol diri untuk tidak menghambur-hamburkan uang dengan membeli barang yang tidak dibutuhkan, maka itu sama hakikatnya dengan mengontrol diri untuk menabung lebih banyak. Sebab, pada dasarnya penurunan jumlah pengeluaran bisa berbanding lurus dengan peningkatan jumlah tabungan. Oleh karena itu, untuk memulai meningkatkan tabungan, mesti diawali dengan merancang aspek pengeluaran. Bagaimana caranya? Begini..

Pertama, hitung berapa penghasilan per bulan. Anda mendapatkan sebuah angka. Lalu hitung rencana pengeluaran per bulan. Untuk mudahnya, tails saja rencana pengeluaran tersebut, apa pun yang terbersit di benak Anda. Lalu perkirakan berapa jumlahnya. Kemudian, jumlah rencana pengeluaran itu dibandingkan dengan penghasilan. Bagaimana hasilnya? Masih ada dana tersisa? Berapa persen? 10 persen, 20 persen, 30 persen? Kalau 10 persen atau 20 persen, berarti ada masalah dalam pengeluaran Anda. Apalagi, kalau angkanya defisit. Ini benar-benar masalah. Bagaimana jika 30 persen? Berarti penghasilan Anda memang cukup besar. Sebab, tanpa melakukan seleksi terhadap aspek pengeluaran, Anda hanya menghabiskan 70 persen dari penghasilan. Namun, mesti diingat, jika yang sisa 30 persen tersebut dialokasikan untuk tabungan, belum tentu angkanya akan cukup untuk mengcover kebutuhan finansial Anda di masa datang. Kenapa? Karena untuk mendapatkan sisa dana 30 persen, Anda tidak membutuhkan effort mengurangi pengeluaran. Jadi semuanya berjalan biasa saja. Padahal suatu ketika mungkin Anda mengalami masalah keuangan, dalam arti penghasilan menurun, sementara di sisi lain, perilaku pengeluaran Anda masih sama. Jika ini terjadi, maka Anda tidak punya kemampuan lagi untuk menyisihkan 30 persen penghasilan ke dalam tabungan. Konkretnya, sangat mungkin dana yang bisa disisihkan untuk tabungan akan semakin menurun. 

Oleh karena itu, dalam kaitan jumlah dana yang dialokasikan untuk tabungan, Anda mesti mematok persentase dan juga angka nominal. Misalnya saat ini penghasilan Anda adalah Rplo juta. 30 persen dari Rp10 juta adalah Rp3 juta. Maka, sejak Anda memiliki komitmen menabung secara rutin, maka harus memenuhi kedua kriteria tersebut, yakni 30 persen penghasilan atau minimal Rp3 juta per bulan, bergantung mana yang lebih tinggi.

Kedua, menseleksi aspek pengeluaran. Hal ini sebenarnya sudah berkali-kali diulas dalam rubrik ini. Tetapi dalam realitasnya, masalah pengeluaran tidak pernah berhenti. Setiap orang merasa dana untuk membiayai pengeluaran tidak pernah cukup. Pertanyaannya, dana yang tidak cukup atau nafsu untuk mengeluarkan uang yang tidak pernah habis? Bahasa terangnya begini. Jumlah dana yang menjadi penghasilan, hakikatnya tidak berubah, kecuali naik gaji atau memperoleh penghasilan lain. Pendeknya, sulit dikontrol, karena yang menaikan gaji, upah, honor, dan penghasilan Anda adalah pihak lain. Sementara, nafsu untuk membelanjakan uang sebenarnya ada dalam kontrol Anda. Ada di benak Anda sendiri. Keinginan untuk belanja atau tidak belanja, bukan bergantung pada apakah ada obral besar atau tidak, tetapi mestinya bergantung pada kebutuhan atau keinginan Anda. Konkretnya, untuk menambah alokasi dana untuk menabung, akan sangat efektif, jika Anda mampu mengurangi pengeluaran Anda, dengan membatasi keinginan dan hanya memenuhi aspek kebutuhan. Dus, lakukan seleksi ulang seluruh rencana pengeluaran dan coret yang sifatnya sekadar keinginan.

Ketiga, menyisihkan dana tersisa dari pengeluaran untuk ditabung. Anda mungkin akan bertanya, dari mana diperoleh dana tersisa? Jangan bohong. Kalau pergi ke restoran, atau membeli suatu barang, pasti ada kembaliannya. Misalnya, dalam rencana pengeluaran, dimasukkan rencana pembelian sepotong kemeja dengan harga Rp300 ribu. Ternyata ketika dibeli, harganya hanya Rp250 ribu. Hal yang sama bisa terjadi pada kegiatan belanja yang lain. Pendeknya, dari transaksi yang dilakukan, pasti ada sisa dana. Pertanyaannya, ke mana digunakan sisa dana tersebut? Pasti untuk konsumsi remeh-temeh lainnya. Padahal, jika nilainya dijumlahkan, boleh jadi akan cukup besar. Bayangkan jika jumlah yang cukup besar itu dijadikan tabungan, maka nilai tabungan pasti akan semakin meningkat.

Selain ketiga hal tersebut, upaya meningkatkan tabungan tentu saja bisa dilakukan dengan berbagai cara. Namun, kata kuncinya adalah soal kemauan. Bukan soal berapa besar dana yang bisa disisihkan untuk ditabung. Jika kemauan tersebut dipelihara dan dilaksanakan secara konsisten, maka akan terbentuk budaya menabung, yang tentu saja akan memberi manfaat bagi Anda sendiri, tatkala suatu ketika membutuhkan dana untuk membiayai kebutuhan, termasuk di hari tua. Selamat mencoba.
by: Elvyn G. Masassya

Memilih Bank


Setelah peristiwa MD mencuat dan menjadi head line di berbagai media massa, apakah Anda merasa khawatir terhadap simpanan Anda di bank? Harus khawatir, karena hal seperti itu bisa terjadi pada siapa saja. Bukan saja nasabah-nasabah yang masuk dalam kategori wealth management atau private banking, tetapi juga bisa menimpa nasabah kebanyakan. Kok bisa? Bisa. Bank bukan lembaga keagamaan yang di dalamnya berisi ustad, pendeta ataupun biksu atau guru-guru agama. Bank adalah lembaga keuangan yang berasaskan komersial dan mencari keuntungan. Dan orang-orang yang bekerja di instansi perbankan juga terdiri atas beragam personality, termasuk seperti MD yang menghebohkan itu.

Itu artinya, kendati lembaga perbankan merupakan lembaga kepercayaan, bukan berarti Anda memberikan kepercayaan seratus persen terhadap orang-orang yang bekerja di dalamnya. Memang, mestinya para bankir juga merupakan orang-orang yang tepercaya. Namun dalam praktiknya, yang disebut lembaga kepercayaan adalah lembaganya, dan bukan orang-orangnya. Lihat saja ambruknya berbagai bank di tahun-tahun silam. Tidak sedikit yang merupakan ulah dari para bankir termasuk juga para pemilik bank itu sendiri. Ringkasnya, kalau Anda hendak memercayakan pengelolaan dana Anda pada bank, maka mesti dilakukan seleksi terhadap bank.

Benar, bahwa bank-bank yang beroperasi di Indonesia saat ini, baik itu bank milik pemerintah, bank swasta nasional, bank swasta asing maupun bank-bank daerah telah diawasi secara ketat oleh Bank Indonesia selaku Otoritas Perbankan. Tetapi, Bank Indonesia juga bukan Dewa yang bisa mengetahui perilaku bank-bank secara detail. Bank Indonesia hanya bisa mengawasi melalui pemeriksaan terhadap laporan kegiatan bank, maupun pemeriksaan langsung secara berkala. Oleh karena itu, jika bersandar saja pada hasil pemeriksaaan Bank Indonesia, terus terang tidak memberikan garansi terhadap keselamatan dana nasabah. Dan int sudah terbukti lewat kasus MD, maupun kasus yang lebih "mengerikan" sebagaimana dialami oleh nasabah Bank Centurys, agar Anda tidak menjadi korban berikutnya, maka beberapa hal selayaknya menjadi perhatian, sebelum menempatkan dana Anda pada sebuah bank. Pertama, aset bank Apa boleh buat, dalam industri perbankan, "size matter". Artinya, aset bank, merupakan salah satu indikasi besarnya kepercayaan masyarakat terhadap bank tersebut. Karena aset adalah kumpulan dana dari masyarakat yang ditempatkan di bank dan kemudian disalurkan sebagai pinjaman dan aset produktif lainnya. Kedua, modal bank. Semakin besar modal, maka semakin tinggi tanggung jawab dan risiko yang ditanggung oleh pemilik Bandingkan saja jumlah modal terhadap aset bank Semakin besar rasionya, maka bank tersebut semakin kuat. Dengan kata lain, kalau terjadi "apa-apa" pada bank bersangkutan, maka uang pemilik juga akan ikut raib.

Ketiga, rasio-rasio keuangan pada saat bank tersebut mengumumkan kinerja keuangannya kepada publik. Ini bisa dilihat di berbagai surat kabar. Lazimnya bank menyampaikan laporan keuangan 4 (empat) kali setahun, atau setiap triwulan. Anda boleh bandingkan satu bank dengan bank lainnya. Beberapa rasio penting yang mesti diperhatikan adalah nonperforming loan, atau jumlah kredit bermasalah bank tersebut. Semakin tinggi rasionya maka semakin jelek kualitas kredit bank bersangkutan. Di sini bisa banyak kemungkinan penyebab. Bisa karena pemberian kreditnya sembarangan, bisa karena debitur-debitur yang diberikan kredit memang tidak bermutu, bisa juga karena faktor ekonomi. Tetapi faktor yang terakhir ini jangan langsung dipercayai, sebab, kalau kredit bermasalah tinggi karena ekonomi tidak kondusif maka hal serupa mestinya juga dialami oleh bank-bank lain. Sehingga kalau hanya satu dua bank yang memiliki kredit bermasalah tinggi, maka bisa dipastikan itu lebih karena pengelolaan kreditnya memang amburadul. Lebih celaka lagi, kalau sebagian kredit diberikan karena sebab subjektif, misalnya karena kenalan, saudara, dan lain sebagainya. Hindari bank semacam itu, karena dana yang Anda tempatkan hanya akan jadi abu. Berubah menjadi kredit macet di sisi aset bank tersebut.

Selain kredit bermasalah, yang tidak kalah penting adalah mencermati laba bank. Kalau labanya besar, tentunya bank itu, mestinya dikelola dengan benar. Tapi apa ya seperti itu? Belum tentu. Coba cermati dari mana sumber laba bank tersebut. Apakah karena pendapatan bunga? Apakah karena dapat "durian runtuh", karena ada laba selisih kurs misalnya, atau malah karena hal lain. Apa itu? Salah satunya adalah karena pembalikan cadangan kredit bermasalah yang tidak terpakai dan kemudian menjadi pendapatan. Apa yang salah dengan ini? Tidak ada yang salah. Tetapi, sumber laba seperti itu tidak berkelanjutan dan mungkin hanya terjadi sekali dua kali. Dengan kata lain, pada tahun berikutnya, belum tentu bank itu bisa menghasilkan laba sebesar yang diperoleh saat ini. Dan itu berarti, masa depan bank tersebut tidak begitu cemerlang. Nah, terserah Anda, silakan saja jika ingin menempatkan dana di bank yang masa depannya tidak jelas.

Beberapa hal yang diutarakan tersebut adalah hal-hal yang bersifat teknis dan mungkin tidak menarik perhatian Anda. Tidak mengapa. Masih ada hal lain yang tidak membutuhkan pengkajian mendalam, untuk melihat apakah sebuah bank berpotensi bermasalah atau tidak. Apa misalnya? Cari tahu siapa banker yang duduk sebagai manajemen puncak di bank tersebut. Cari tahu latar belakang dan kiprah sebelumnya. Kalau sudah punya jam terbang cukup lama, dan selama itu tidak pernah terdengar melakukan hal-hal yang tercela, maka, secara logika, pasti bank yang dikelola akan dijaga dengan baik. Lantas bagaimana dengan kasus MD?  hanya bisa terjadi dalam pengelolaan private banking, bank menyediakan tenaga banker khusus untuk mengelola dana orang-orang kaya. Nah, kalau Anda cergolong kaya dan juga hendak menempatkan dana dalam bank yang memiliki private banking atau unit wealth management, maka faktor siapa yang menjadi private banker Anda menjadi sangat vital. jangan menempatkan dana hanya karena sang banker ramah, cantik, bahenol, dan atau alasan apa pun yang bersifat personal. Tapi, bagaimana integritas dan profesionalisme dari banker tersebut. Dan jangan pernah ada atau memberi instruksi tanpa basis dokumen legal yang autentik. Paling tidak, Anda memiliki alat bukti kalau terjadi "apa-apa" dengan dana Anda.
by: Elvyn G. Masassya

Memahami jenis Pinjaman


Sebagian besar dari Anda, ketika mendengar kata pinjaman, pasti langsung mengasosiasikannya dengan kredit bank. Tidak salah memang, tapi yang dimaksud dengan pinjaman jauh lebih luas dari sekadar kredit bank. Dan sebagaimana pernah diulas, mencari pinjaman untuk berinvestasi bukanlah hal buruk, sepanjang kegunaannya untuk kegiatan produktif dan dari kegiatan tersebut pinjaman bisa dibayar kembali.

Memang, kelazimannya, pinjaman dalam bentuk nonkredit lebih sering dilakukan oleh perusahaan-perusahaan. Misalnya, perusahaan menerbitkan obligasi atau surat utang jangka panjang dan kemudian dijual kepada masyarakat atau pihak yang berminat. Akan tetapi, pinjaman model seperti itu hanya bisa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang sudah berjalan dan memenuhi berbagai persyaratan yang cukup rumit. Lantas bagaimana dengan perusahaan baru atau bahkan perusahaan perorangan? Apakah tidak ada alternatif lain dalam mencari pinjaman, selain dalam bentuk kredit bank? Jelas ada. Dalam konsep manajemen keuangan, pencarian modal untuk berbisnis sebenarnya bisa dibagi menjadi beberapa tahap. 

Tahap pertama adalah dengan modal sendiri. Ini yang sangat lazim terjadi. Selanjutnya jika perusahaan sudah mulai jalan, maka untuk mencari modal tambahan bisa saja menggunakan modal ventura (venture capital). Modal ventura adalah lembaga keuangan yang memberi pinjaman dalam bentuk pinjaman modal. Jadi, modal ventura akin menempatkan dana dalam bentuk equity dan pengembaliannya adalah berdasarkan profit sharing. Tahap yang lebih berikut adalah meminjam dari bank. Terhadap pinjaman bank ini, perusahaan akan dimintakan jaminan atau collateral dan harus juga memenuhi bermacam persyaratan administratif lainnya. Jika kebutuhan akan modal sudah menjadi lebih besar lagi, perusahaan bisa mencarinya di pasar modal. Misalnya dengan melakukan go public, menerbitkan obligasi dan bermacam surat utang lainnya.

Dalam realitasnya, apa yang dipaparkan tersebut tentu saja tidak semudah dibayangkan. Untuk mencari modal dari venture capital misalnya. Pemilik usaha harus mempunyai konsep usaha dan bisnis yang jelas. Selain itu, proyek atau bisnis yang hendak dikembangkan memang memiliki prospek yang bagus. Di Indonesia, dewasa ini cukup banyak perusahaan yang bergerak di bidang ventura capital. Beberapa tahun silam, pemerintah bahkan pernah mendirikan sekitar 100 modal ventura yang tersebar di berbagai daerah. Sayangnya, kiprah modal ventura itu tidak terlalu kedengaran, sehingga kurang menjadi pilihan bagi masyarakat sebagai alternatif mencari pendanaan.

Oke, lantas bagaimana jika ternyata alternatif sumber dana dalam bentuk pinjaman dari berbagai lembaga tersebut sulit untuk diperoleh? Apakah kemudian pasrah? Jelas tidak. Ada beberapa alternatif sumber dana untuk memperoleh pinjaman yang sebenarnya relatif paling mudah, namun sering kali luput dari perhatian. Salah satunya adalah lembaga Pegadaian. Lembaga ini dulu sering kali ditafsirkan hanya melayani "orang-orang susah" yang butuh uang. Dan kalangan ini, demi memperoleh pinjaman boleh menggadaikan apa saja, mulai emas, motor, radio, televisi sampai sarung.

Dengan setting seperti itu terbentuklah interpretasi bahwa lembaga Pegadaian hanya untuk kalangan bawah. Padahal sama sekali tidak benar. Lembaga Pegadaian merupakan lembaga keuangan nonbank yang bisa memberikan pelayanan pinjaman dana dengan jaminan barang-barang yang dimiliki peminjam. Dalam hal ini bahkan termasuk saham perusahaan peminjam. Jadi cakupannya cukup luas. Di sisi lain, memperoleh pinjaman dari Pegadaian bukan sesuatu yang sulit. Hanya saja, karena kemudahan tersebut tentu saja pinjaman yang diberikan oleh Pegadaian biayanya sedikit lebih mahal ketimbang bank. Ini wajar, sebab sebagian sumber dana Pegadaian itu sendiri sebenarnya berasal dari bank.

Hal yang harus diperhatikan dalam memperoleh pinjaman dari Pegadaian sebenarnya adalah bahwa pinjaman tersebut mesti bersifat sementara. Artinya jangan dijadikan sebagai sumber dana jangka panjang. Sebab, secara prinsip, pinjaman dari Pegadaian adalah untuk mengatasi masalah cash flow. Bukan karena peminjam tidak memiliki kemampuan. Atau bukan karena sama sekali tidak memiliki modal usaha. Dengan kata lain, jika kondisi keuangan peminjam sudah mulai membaik, maka harus juga dicari alternatif sumber dana pinjaman lain yang bersifat lebih lunak.

Apa yang dimaksud dengan sumber dana pinjaman yang bersifat lebih lunak? Pinjaman yang semata-mata didasarkan atas kepercayaan. Konkretnya, pernahkah Anda berpikir untuk mendapatkan pinjaman dari orang-orang terdekat Anda? Pinjaman dari om, tante, kakak, adik, sepupu, sahabat, dan lain sebagainya? Umpamakan Anda memiliki rencana bisnis atau usaha yang Anda yakini akan memberikan keuntungan, namun Anda kekurangan modal. Salah satu sumber untuk mengatasi kekurangan modal itu sebenarnya adalah dengan mengajak handai tolan Anda berpartisipasi. Partisipasi itu bisa dalam 2 (dua) bentuk, yakni pinjaman biasa dan yang kedua ikut serta sebagai pemilik.

Jika Anda yakin bahwa mencari pinjaman dari sanak saudara merupakan jalan keluar terhadap permasalahan modal usaha Anda, maka yang perlu dipersiapkan berikutnya adalah mekanisme pinjaman itu sendiri. Sebab, sering kali pinjaman dari saudara pada akhirnya berbuah sengketa. Kenapa? Karena tidak dibuatkan mekanismenya secara benar. Jadi, kalau kemudian usaha merugi dan pinjaman tidak bisa dikembalikan, seolah¬olah persoalan selesai begitu saja. Padahal bagi si pemberi pinjaman, apakah itu diberikan kepada saudara, teman, sahabat, tetap saja adalah hak si pemberi pinjaman untuk mendapatkan kembali dana yang telah dipinjamkannya. Oleh karena itu, untuk menghindari hal-hal semacam itu, jika Anda bermaksud melakukan pinjaman dari handai tolan, sebaiknya tetap dibuatkan tata cara yang profesional. Apa maksudnya?

Sederhana saja. Dalam mekanisme pinjaman ada hak dan kewajiban. Hal tersebut mesti dituangkan dalam kesepakatan tertulis yang berkekuatan hukum. Jadi ada tanggung jawab hukum bagi kedua belah pihak. Mungkin, Anda akan bertanya, kok pinjaman sama teman saja mesti pakai kesepakatan tertulis? Anda bisa berpendapat seperti itu, karena saat ini belum ada masalah. Coba kalau di kemudian hari ada masalah, pasti akan sangat merepotkan karena hak dan kewajiban yang diperjanjikan tidak tertuang secara tertulis. Jadi, sekali lagi, pinjaman kepada sanak saudara pun sebaiknya dituangkan daiam perjanjian. Lalu, disebutkan semua hak dan kewajiban, termasuk konsekuensi jika Anda wanprestasi dalam membayar kewajiban tersebut.

Itu satu hal. Hal lain lagi, tentu saja adalah niat baik. Jika Anda berhasil mendapatkan pinjaman dari sanak saudara, sebenarnya Anda sangat beruntung. Kenapa? Karena, Anda tidak perlu memberikan jaminan. Jaminannya hanya berupa kepercayaan handai tolan tersebut kepada Anda. Dan kepercayaan merupakan aset yang sangat mahal. Oleh karena itu, jika terjadi masalah pada usaha Anda sehingga kemampuan membayar kembali menjadi rendah, sebaiknya Anda tidak menghindar dari kewajiban Anda. Konkretnya, Anda cukup meminta penjadwalan kembali dari pembayaran pinjaman tersebut. Anda tetap saja masih memiliki kewajiban membayar sampai kapan pun juga. Jika prinsip ini bisa Anda pegang secara konsisten, maka kepercayaan terhadap diri Anda akan terpelihara dan mencari pinjaman baru akan lebih mudah.

kartu Kredit dan Debt Collector


Kematian yang dialami pemegang kartu kredit, sebagai akibat ulah debt collector belum lama ini, bukan saja meresahkan banyak kalangan. Tetapi dipastikan mengagetkan bank penerbit kartu kredit itu sendiri. Kenapa? Karena penerbit kartu pasti tidak pernah menyangka bahwa hasil akhir dari upaya penagihan kredit yang tertunggak berujung pada kematian sang debitur. Sebab, utang piutang merupakan persoalan perdata. Sementara itu, kematian yang dialami pemegang kartu kredit tersebut telah masuk ke ranah pidana. Terlepas apa pun penyebab kematian tersebut, peristiwa ini telah mencoreng wajah penerbit kartu kredit dan juga membuat banyak pemegang kartu kredit merasa waswas.

Kisah terkait kartu kredit memang bukan hal Baru. Bukan saja soal pemasarannya yang luar biaya agresif dan bahkan sudah merambah ke area pribadi seperti memasok SMS ke telepon seluler dan melakukan pencegatan di mal-mal, sehingga membuat banyak kalangan merasa terganggu. Namun soal penagihan pembayaran kredit yang terlambat juga lebih mengenaskan. Pihak bank mengirim orang-orang tertentu dengan sebutan debt collector ke kantor pemegang kartu kredit tengah bekerja, sehingga membuat seluruh orang kantor tahu bahwa, tengah dikejar-kejar utang kartu. kredit.

Kenapa semua itu terjadi? Sederhana sekali. Karena ada kontribusi dari semua pihak, baik itu pihak penerbit kartu maupun pihak pemegang kartu kredit. Bagaimana maksudnya? Seberapa pun gencarnya pihak bank memasarkan kartu kredit, kalau calon konsumen "kuat iman" dan berpikir rasional tentu tidak akan terjadi debt overhang alias besar pasak daripada tiang di kalangan pemegang kartu kredit. Sementara itu, kalau pihak bank lebih memiliki etika, tentu tidak akan memasarkan produknya melalui SMS atau menelepon 3 kali sehari terhadap orang yang sama.

Hal ini bisa terjadi, karena dalam memasarkan produknya pihak bank kerap menggunakan perusahaan lain, atau disebut dengan outsourcing. Tenaga-tenaga pemasar di perusahaan lain itu diberi target dan mereka tidak peduli bahwa telepon mereka sudah mengganggu calon konsumen. Mereka beranggapan, dari 10 orang yang ditelepon, paling tidak ada satu atau dua orang yang tertarik dengan tawaran mereka.
Lanus bagaimana baiknya menyikapi itu semua? Anda sebagai calon konsumen kartu kredit tentunya mesti memahami bahwa kartu kredit hakikatnya adalah sebagai alat bantu pembayaran. Bukan sebagai alat untuk berutang. Ini prinsip yang paling mendasar. Artinya, memiliki kartu kredit bukan untuk menutupi kekurangan biaya kehidupan. Jika latar ini yang Anda terapkan ketika menginginkan kartu kredit, sama artinya dengan menggali lubang kubur utang. Anda dipastikan akan terjebak di dalam lubang tersebut dan sulit untuk keluar. Konkretnya, tidak perlu memiliki banyak kartu 'credit. Semakin banyak kartu kredit di dompet Anda sama sekali tidak menaikkan gengsi Anda. Yang terjadi adalah anggapan bahwa Anda orang yang gemar berutang. Kalau kondisi finansial Anda bagus, kemampuan tersebut tidak diperlihatkan dengan banyaknya kartu kredit, melainkan oleh jenis kartu kredit yang Anda pegang. Jadi 1 kartu jenis platinum sudah cukup dibandingkan 10 kartu jenis silver.

Oleh karena itu, agar Anda tidak masuk perangkap jebakan kartu kredit dan apalagi dikejar-kejar debt collector, tidak ada salahnya Anda renungkan beberapa hal berikut. Pertama, jadikan kartu kredit sebagai alat untuk memudahkan transaksi pembayaran. Ini artinya, tidak perlu memiliki banyak kartu kredit. Kedua, pilihlah penerbit kartu kredit yang credible dan tingkat bunga yang paling bersaing. Saat ini ada puluhan bank yang menawarkan kartu kredit dengan berbagai gimmick marketingnya. Jangan langsung terpukau. Di balik gimmick marketing itu pasti ada hitung-hitungannya. Baik itu dalam tingkat bunga, biaya administrasi, biaya keterlambatan, denda maupun annual fee.

Kebanyakan penerbit kartu kredit menggunakan tingkat bunga harian. Jika tidak jeli, Anda bisa terkecoh. Kenapa? Karena kalau dihitung secara tahunan, maka bunga yang dikenakan kepada Anda akan sangat besar. Belum lagi jika Anda membayar secara angsuran, jangan kira yang dihitung adalah sisa tunggakan, tetapi bunga akan tetap dihitung dari pokok tagihan. Katakanlah Anda berutang sejumlah Rp5 juta. Lalu saat tagihan datang, Anda hanya membayar Rpl juta. Maka tagihan pada bulan berikutnya, bunga yang dihitung bukan dari sisa kredit Anda sebesar Rp4 juta, melainkan dari Rp5 juta. Dan terhadap Rp5 juta itu bunga yang dikenakan terhadap Anda bukan bunga untuk 1 bulan, melainkan untuk 2 bulan. Sebab perhitungannya harian. Begitu seterusnya. Sehingga jangan heran, kalaupun tagihan itu Anda lunasi dalam kurun waktu 5 bulan mendatang, maka jumlah pembayaran yang mesti Anda lakukan akan sangat besar. Utang Anda akan bergulung seperti ombak tanpa pernah Anda sadari.

Ketiga, jika Anda sudah mengalami kesulitan dalam membayar utang kartu kredit Anda, jangan pernah menghilang atau melarikan diri. Anda akan dikejar-kejar seperti buronan dan ongkos sosial yang Anda tanggung akan sangat besar. Sebaiknya, Anda berinisiatif mendatangi pihak bank dan meminta utang Anda direstrukturisasi, misalnya menjadi cicilan tetap untuk sekian tahun. Cara ini akan lebih elegan dan bahkan lebih "ekonomis" ketimbang Anda sekadar membayar bunga. Sebab, pokok utang Anda tidak akan pernah berkurang. Di sisi lain, selama masa restrukturisasi, jangan pernah mempergunakan kartu kredit. Redam nafsu konsumtif Anda. Utang yang menggelembung itu suka tidak suka  merupakan buah dari perilaku Anda sendiri yang Anda mesti menanggung akibatnya. Seperti kata pepatah, "berani berbuat harus berani bertanggung jawab".

Keempat, kalau karena suatu keadaan, Anda terpaksa berurusan dengan debt collector, tidak perlu membantah apalagi "menyuap" mereka dengan uang tip, agar Anda tidak lagi didatangi. Itu hanya menunda masalah. Dan tidak akan pernah selesai. Katakan pada debt collector bahwa Anda akan menyelesaikan kewajiban Anda dengan cara sebagaimana butir 3 tersebut. Kalau kemudian Anda diancam apalagi diperlakukan tidak sewajarnya, Anda laporkan saja pada pihak berwajib, sebagai perbuatan tidak menyenangkan dan ancaman. Sampaikan juga protes keras kepada pihak penerbit kartu. Dan kalau tidak ada solusi selesaikan saja secara hukum. Ini untuk menghindari soal kartu kredit yang berbasis urusan perdata melebar menjadi urusan pidana dan juga soal sosial. Yang penting, Anda memang memiliki niat baik untuk bertanggung jawab, bukan menghindar apalagi bermaksud mengemplang. Kalau memang tujuan Anda seperti ini, maka risiko yang Anda terima memang akan menakutkan.
by: Elvyn G. Masassya

Hasil Investasi Saham


Saat menulis artikel ini tahun 2010 akan segera berlalu. Sebagian dari Anda, mungkin telah menyiapkan rencana liburan akhir tahun. Ada yang hendak berlibur karna merasa perlu menghadiahi diri sendiri, setelah bekerja keras selama setahun. Dan boleh jadi, membuahkan hasil prestasi yang menggembirakan. Tetapi, tidak sedikit juga yang berlibur di akhir tahun karena sekadar "ritual". Kebiasaan yang sudah dilakoni bertahun-tahun. Jadi, tidak ada hubungannya sama sekali dengan pencapaian prestasi atau tidak berprestasi di sepanjang tahun 2010.

Lepas dari itu, jika Anda investor, dan termasuk "pemain" saham, di pasar modal, tentu layak pula dipertanyakan, apakah investasi saham Anda di tahun 2010 ini membuahkan prestasi atau malah sebaliknya? Pertanyaan berikutnya adalah, apakah sebaiknya portofolio investasi saham Anda dilepaskan untuk kemudian memulai yang baru di awal tahun 2011 nanti, atau tetap dipegang hingga seterusnya. Mana yang benar?

Lazimnya, seorang investor memiliki target terhadap investasinya. Berapa imbal hasil yang diharapkan dalam setahun dan seterusnya. Untuk itu tentu diperlukan review secara periodik terhadap hasil investasi tersebut. Dan seperti pertanyaan tersebut, apakah hasil investasi yang diperoleh telah sesuai dengan harapan? Atau melebihi harapan? Atau malah sebaliknya, jauh dari harapan. Apa pun hasil investasi yang diperoleh, ada baiknya beberapa hal dicermati lebih sungguh-sungguh.

Pertama, imbal hasil yang diperoleh secara menyeluruh terhadap portofolio Anda. Coba cek berapa total cost pembelian saham sejak awal tahun 2010. Lalu berapa sekarang nilai pasar dari saham-saham yang Anda beli itu. Ada dua kemungkinan. Portofolio Anda dalam posisi un-realized gain, atau un-realized loss. Lalu hitung berapa gain yang sudah Anda realisir selama setahun ini. Untuk apa semua itu dilakukan? Untuk melihat, berapa sebenarnya yield on investment, balk yang sudah direalisasikan maupun yang belum direalisasikan. Jika hasilnya positif, maka lihat berapa jumlah persentasenya. Bisa 20 persen, bisa 30 persen atau rnalah 40 persen. Pendeknya, jika hasilnya bisa dua kali lipat di atas rata-rata bunga deposito berjangka, maka investasi Anda boleh dibilang berhasil. Itu secara portofolio total. Bagaimana jika dilihat secara lebih detail alias per masing-masing saham. Apakah semuanya mendulang keuntungan? Belum tentu. Oleh karena itu, lakukan langkah berikut.

Kedua, hitung imbal hasil dari masing-masing saham yang Anda miliki. Umpamakan sejak awal tahun portofolio saham Anda terdiri atas beberapa saham. Katakanlah ada 5 atau 6 saham. Coba cek satu per satu, saham mana yang memberikan gain terbesar, balk itu yang sudah direalisir maupun yang masih dalam potensial gain. Dan sebaliknya, saham mana pula yang hanya memberikan kerugian maupun potensi rugi. Dengan menghitung secara detail, maka Anda akan mendapatkan gambaran, saham-saham apa raja yang memberikan kontribusi besar, sedang ataupun kecil terhadap imbal hasil investasi Anda.

Nah, kembali ke pertanyaan awal, apa tindakan yang harus Anda ambil terhadap saham-saham tersebut? Balk yang saat ini dalam posisi un-realized gain maupun unrealized loss. Apakah sebaiknya semua dilepaskan dengan konsekuensi ada yang rugi dan ada yang untung? Tunggu dulu. Kembali ke pertanyaan semula, apakah Anda tergolong investor saham jangka panjang atau investor saham tahunan. Jika, memang Anda tergolong investor saham jangka panjang, maka saham yang sekarang masih Anda pegang, baik itu dalam posisi un-realized gain, maupun un-realized loss, tidak perlu dilepas, hanya karena berganti tahun. Saham-saham tersebut hanya layak dilepas jika Anda ingin berpindah ke saham lain. Oleh karena itu, yang perlu dicermati adalah prospek d.ari saham-saham yang Anda pegang tersebut. Tidak peduli apakah saham itu sekarang dalam posisi potensial loss ataupun potensial gain.

Yang dimaksud dengan prospek di sini adalah, apakah pada tahun depan ada kemungkinan harga-harga saham itu akan meningkat? Bagaimana cara melihatnya? Sederhana. Sakti satu cara, seperti pernah dibahas dalam tulisan terdahulu adalah dengan melihat PER (Price Earning Ratio) dari saham-saham tersebut. Jika PER-nya masih lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan sejenis yang ada di pasar, maka saham tersebut layak Anda pegang lebih lama. Sebab, potensi kenaikan harganya masih cukup besar. Demikian sebaliknya, jika PER saham yang masih Anda pegang itu ternyata sudah lebih tinggi dibandingkan perusahaan sejenis, maka kalau dalam posisi un-realized gain, ada baiknya saham tersebut Anda jual dan nikmati gain yang diperoleh. Bagaimana dengan saham yang PER-nya tinggi, tetapi saat ini dalam posisi un-realized loss?
Bergantung pada keyakinan Anda terhadap saham tersebut, dan penyebab kenapa Anda mengalami un-realized loss. Artinya, Anda membeli saham tersebut sudah pada harga yang tinggi, dan kemudian harganya mengalami kemerosotan. Jika penurunan harga semata-mata disebabkan oleh sentimen pasar, maka masih ada peluang saham tersebut mengalami kenaikan harga. Namun, jika penurunan harga memang disebabkan oleh kinerja emiten yang memburuk, maka pilihannya adalah cut loss, atau Anda menanggung kerugian yang lebih besar lagi di masa datang.

Simpulannya, untuk melihat apakah investasi saham Anda di tahun 2010 ini mengalami keuntungan ataupun kerugian, bukan mesti dengan menjual seluruh saham yang Anda pegang, dan kemudian menghitung selisih harga jual terhadap harga beli. Melainkan bisa dengan membandingkan harga beli dengan harga pasar dari saham tersebut. Baru kemudian Anda hitung berapa imbal hasil yang diperoleh. Itulah kinerja saham Anda di tahun 2010. Dan berangkat dari kinerja saham di tahun 2010 itu, Anda merancang target imbal hasil saham di tahun 2011.

Adapun pilihan saham di tahun 2011, tentunya mesti diawali dengan memahami prospek ekonomi di tahun 2011 dan dampaknya terhadap emiten-emiten yang sahamnya menjadi alternatif pilihan Anda, khususnya yang saat ini masih dalam portofolio Anda. Artinya, jika memang kondisi perekonomian di tahun 2011 kurang kondusif bagi saham-saham yang Anda pegang, maka tidak ada jalan lain selain membuat portofolio baru dengan saham yang berbeda. Akan tetapi, jika kondisi perekonomian akan mendukung kinerja saham yang ada di portofolio Anda, maka pertimbangkan bahkan untuk menambah jumlah saham yang akan Anda beli. Dengan demikian, maka potensi imbal hasil di tahun 2011 diharapkan bisa lebih besar ketimbang tahun 2010. Selamat mencoba.
by: Elvyn G. Masassya

Menghindari "jebakan" Pasar Saham


Anda sudah berinvestasi di pasar saham? Bagaimana hasilnya? Sebagian dari Anda boleh jadi sudah menikmati keuntungan besar. Tetapi, sebagian lagi, juga sangat mungkin merasa jera dan mundur dari pasar saham, karena mengalami kerugian. Lepas dari situasi tersebut, bagi Anda yang selama ini sudah berhasil menuai untung, jangan dulu bergembira. Sebab suatu ketika Anda bisa saja "terpeleset" dalam jual beli saham. Begitupun bagi Anda yang merasa jera, semestinya tidak perlu putus asa. Sebab peluang menangguk keuntungan dari investasi di saham sangatlah besar. Oleh karena itu, paparan berikut ini akan mengulas beberapa hal yang kerap menjadi jebakan di pasar modal, yang layak diwaspadai sehingga investor tidak mengalami kerugian.

Pertama, jebakan kenaikan indeks harga saham gabungan (IHSG). Indeks yang melesat tinggi, bagi kalangan awam mungkin ditafsirkan sebagai indikasi bagus untuk memborong berbagai saham, dengan harapan saham-saham tersebut akan terus mengalami kenaikan harga seiring kenaikan indeks. Padahal realitasnya belum tentu demikian. Kenaikan indeks tidak selalu diikuti oleh kenaikan harga saham secara menyeluruh. Banyak saham-saham yang harganya malah merosot. Sebab, kenaikan indeks lebih dipengaruhi oleh pergerakan harga dari saham-saham yang memiliki kapitalisasi besar. Ringkasnya, naiknya indeks tidak selalu cerminan dari keseluruhan kinerja saham yang ada di bursa.

Saham-saham yang mendorong naiknya indeks tentu memiliki pembeli dalam jumlah besar. Siapa yang melakukan pembelian? Investor institusi atau investor ritel (perorangan)? Apakah mereka investor asing atau investor lokal? Apakah tujuan mereka membeli untuk dipegang dalam kurun waktu yang lama atau sekadar trading. Kalau yang membeli itu adalah investor institusi lokal, lazimnya membeli untuk dipegang dalam kurun waktu cukup lama. Tetapi, kalau yang membeli itu adalah investor asing, tidak ada jaminan mereka akan memegang dalam kurun waktu yang lama. Artinya, kenaikan indeks yang tiba-tiba, bisa saja mengalami koreksi atau penurunan cepat secara tiba-tiba pula, ketika investor asing tersebut menjual kembali saham yang dibelinya.

Oleh karena itu, pergerakan kenaikan indeks yang terlalu cepat, sesungguhnya bukanlah hal bagus. Akan lebih bagus jika indeks bergerak, seiring dengan pergerakan harga saham yang berdasarkan membaiknya kinerja fundamental dari perusahaan yang mencatatkan sahamnya di pasar modal. Jadi bukan semara-mata karena ada pembelian besar-besaran oleh investor asing.

Kedua, jebakan harga semu. Kenaikan harga sebuah saham secara tiba¬tiba, bukan pula berita bagus. Apalagi jika tidak ada alasan fundamental yang mendasari kenaikan harga saham tersebut. Lebih dari itu, kalau volume transaksi terhadap saham yang harganya mengalami kenaikan tinggi itu tidak terlalu besar, kecurigaan pantas dilekatkan ke saham tersebut, sebagai saham yang sedang "digoreng" oleh para bandar. Dus, kalau Anda ikut-ikutan membeli saham semacam ini, hanya menghitung hari, Anda akan ikut gosong tergoreng, sementara sang bandar sudah keluar dari saham tersebut. Bagaimana konkretnya?

Saham yang mengalami pergerakan harga akan menarik perhatian. Bagi yang tertarik akan ikut serta membeli. Ketika membeli saham tersebut, harganya biasanya sudah terlanjur tinggi. Dan ketika harga sudah tinggi, maka pihak yang "menggoreng" akan menjual seluruh saham yang dimiliknya. Dampaknya, harga saham "gorengan" itu akan gosong dan terjun bebas. Tinggal Anda terperangkap di dalamnya, yang terlanjur membeli ketika harga masih di atas. Jadi, jangan pernah tertarik untuk membeli saham-saham yang tiba-tiba melesat tinggi, apalagi jika volume perdagangannya tipis.

Ketiga, jebakan keserakahan. Selain jebakan yang pertama dan kedua, masih ada jebakan lain yang lebih berbahaya, yakni jebakan keserakahan. Dan jebakan ini bukan saja bisa menimpa investor berkategori trader, tetapi juga termasuk investor saham yang masuk kalangan growth investor maupun value investor.
Saham yang sudah dipegang cukup lama, dan kebetulan kinerja perusahaan emiten mengalami peningkatan biasanya akan berimbas pada kenaikan harga. Bagi Anda yang sudah memegang saham dimaksud sejak lama, tentu telah mengantongi potential gain dari kenaikan harga saham itu. Kenapa potential gain? Ya karena sahamnya masih dipegang dan belum dijual. Dalam situasi begini, ironisnya kerap ada "bisikan" di telinga investor untuk jangan dulu menjual sahamnya.

Katakanlah, setelah dipegang selama I tahun, harga saham meningkat 30 persen. Karena peningkatannya cukup tinggi, membuat si investor penasaran dan mengharapkan adanya peningkatan lagi, dengan asumsi, investor lain akan turut serta memburu saham dimaksud. Sayangnya, yang sering kali terjadi adalah, potential gain yang 30 persen itu hilang, karena investor lain malah menjual saham dimaksud dan harganya kemudian turun.

Oleh karena itu, sangatlah pantang untuk menjadi "serakah" dalam investasi saham. Jika Anda mematok target 30 persen kenaikan harga, maka ketika harga saham sudah tercapai, mestinya saham tersebut langsung dijual. Tidak perlu menyesal kalau ternyata harga saham itu terus meroket. Itu bukan rezeki Anda. Itu rezeki orang lain yang membeli ketika harganya sudah naik 30 persen.

Keempat, jebakan rasa takut. Seorang investor di pasar saham, kerap kali mengalami kerugian karena tidak bisa menahan rasa takutnya. Apa maksudnya? Ketika saham yang dibeli mengalami penurunan harga, langsung merasa takut dan khawatir harga sahamnya semakin merosot.
Dan jika tidak mampu lagi mengontrol rasa takut tersebut, saham yang sudah dibeli langsung dijual dan yang diperoleh hanya kerugian. Padahal, setelah dijual saham tersebut bisa kembali mengalami kenaikan harga dan bahkan semakin tinggi harganya.

Bagaimana mungkin? Sangat mungkin. Pergerakan harga saham harian tidak selalu dipicu oleh faktor fundamental. Tetapi, lebih sering karena sekadar sentimen pasar. Jadi, sepanjang saham yang dibeli memiliki fundamental bagus, sebenarnya tidak perlu takut, ketika harganya turun. Itu semata-mata karena sentimen negatif yang esok hari atau sepekan kemudian bisa berubah menjadi positif Oleh karena itu, kalau saham yang Anda beli mengalami penurunan harga, malah Anda bisa membeli lebih banyak lagi saham tersebut, karena harganya menjadi lebih murah. Dan ketika harganya mengalami pembalikan, Anda sudah memiliki saham dalam jumlah lebih besar dan harga beli rata-rata yang lebih murah. Implikasinya, potensi keuntungan Anda lebih besar. Selamat mencoba.
by: Elvyn G. Masassya

Memahami "Perilaku" Saham


Dalam 2 (dua) tulisan terdahulu telah dibahas tentang investasi saham untuk pemula dan juga bagaimana memilih saham yang potensial. Apakah dengan memahami hal mendasar tersebut, sudah memberi garansi bagi Anda untuk sukses dalam investasi saham? Sama sekali tidak. Sehebat apa pun kemampuan dan pengetahuan Anda tentang saham, tidak merupakan jaminan, kalau Anda membeli saham, pasti saham tersebut akan mengalami kenaikan harga. Kenapa? Karena harga saham esok hari adalah sebuah misteri. Karena harga tersebut belum terjadi. Tetapi, dengan meningkatkan pengetahuan dan pengalaman dalam bermain saham, biasanya akan memberikan "insting" bagi Anda untuk lebih memahami perilaku saham dan pergerakan harganya. Oleh karena itu, paparan berikut akan melanjutkan analisis perihal saham, khususnya bagaimana membentuk portofolio saham, lalu mendeteksi perilaku terbentuknya harga dan momentum untuk membeli saham.

Pertama, membentuk portofolio saham. Seperti konsep diversifikasi yang mengatakan jangan pernah menaruh telur dalam satu keranjang, maka saham-saham yang akan Anda beli juga mesti terdiri atas bermacam jenis dan juga bermacam tujuan. Artinya, jika Anda memiliki dana Rp100 juta untuk berinvestasi saham, maka dana tersebut mesti dibagi dulu, berapa yang akan dialokasikan untuk saham yang hendak dipegang dalam jangka pendek atau trading serta jangka menengah panjang, dengan harapan harga saham tersebut terus meningkat. Jika Anda tergolong pemula, ada baiknya sebagian besar dana dipakai untuk membeli saham-saham yang berkategori growth stock, atau saham-saham yang akan bertumbuh dalam jangka menengah panjang.

Bagaimana caranya? Belilah saham yang fundamental bagus tetapi harganya masih relatif refidah. Memang saham jenis begini belum tentu akan mengalami perubahan harga secara cepat, atau malah belum tentu banyak ditransaksikan, tetapi jika "muatan" saham tersebut alias kinerja emiten cemerlang, biasanya akan mengalami peningkatan harga menjelang RUPS (rapat umum pemegang saham) tahunan, dan apalagi jika ada berita pembagian dividen kepada pemegang saham.

Yang tergolong growth stock itu sendiri tidak mesti saham berkategori blue chip yang harganya kebanyakan relatif mahal, tetapi juga saham-saham yang berada pada kategori second liner alias saham lapis kedua, atau dengan kapitalisasi pasar lebih rendah. Apa itu kapitalisasi pasar? Kapitalisasi pasar adalah hasil perkalian harga saham dengan jumlah lembar saham yang diperdagangkan di pasar modal. Bagi sebagian investor, kapitalisasi pasar dianggap tergolong besar, jika angkanya berada di atas Rp2 triliun. Bagaimana dengan saham-saham yang kapitalisasi pasarnya di bawah itu? Tidak masalah, tetap bisa dipilih sepanjang tergolong growth stock. Kesimpulannya, portofolio saham yang hendak Anda bentuk sebaiknya sebagian besar terdiri atas growth stock, misalnya 60-70 persen. Sisanya adalah saham yang bisa Anda bell dan jual setiap saat sesuai pergerakan harga di pasar. Dengan kata lain, Anda boleh menjadi "trader" namun hanya mentraksaksikan 30-40 persen dari alokasi total dana Anda di pasar saham.

Kedua, memilih saham untuk "trading". Seorang investor di pasar saham baru akan merasakan denyut jantung pasar jika sudah melakukan perdagangan saham secara sering. Artinya jual beli saham dengan mengambil kesempatan dari pergerakan harga yang bisa terjadi dalam hitungan jam, hari, ataupun pekan. Semakin sering melakukan transaksi, maka pemahaman investor terhadap perilaku saham, khususnya pergerakan harga akan semakin dalam. Itu, sebabnya, kendati Anda memilih menjadi growth investor ataupun value investor, tidak ada salahnya, sedikit Jana Anda dipakai untuk melakukan trading saham. Tinggal masalahnya bagaimana memilih saham yang akan dibeli dan kapan saham itu dibeli.
Untuk itu tentu Anda pahami dulu karakteristik terbentuknya harga. Hal yang paling mendasar adalah bid dan offer atau permintaan dan penawaran. Sama seperti jual beli pasar di riil, saham juga merupakan sebuah "produk", ada yang menjadi pihak pembeli dan pihak penjual. Dan pembeliannya juga dengan cara tawar-menawar, hingga terbentuk harga untuk transaksinya. Sebutlah saham "A", memiliki harga permintaan sebesar Rp300 per lembar dan penawaran sebesar Rp310 per lembar. Artinya, peminat ingin membeli saham tersebut dengan harga Rp300, namun penjual menawarkannya Rp310. Bagaimana harga yang terbentuk? Bergantung jumlah peminat dibandingkan dengan jumlah penawar. Jika peminat lebih besar, bisa jadi harga yang terbentuk untuk transaksi adalah Rp310. Sebaliknya, jika penawar lebih besar jumlahnya, maka harga yang terjadi adalah di Rp300. lnilah salah satu kunci untuk mendeteksi tendensi pergerakan harga dalam perdagangan saham, yakni volume bid dan volume offer.

Kesalahan yang dilakukan para pemula dalam bermain saham biasanya adalah tidaks elalu mencari informasi mengenai volume bid offer dari sebuah saham. Investor pemula, biasanya hanya melihat pergerakan harga saham, dan ketika harga bergerak naik, mereka ikut serta membeli dengan harapan harga naik terus. Padahal, harga akan segera berubah, jika volume bid dan offer berubah. Oleh karena itu, sebelum melakukan transaksi saham, Anda sebaiknya bertanya dulu kepada sales/pihak sekuritas di mana Anda melakukan transaksi, berapa volume bid dan offer dari saham tersebut. Jika volume permintaan lebih besar dari penawaran, harga berpeluang naik. Demikian pula sebaliknya.

Itu baru satu hal mendasar sederhana. Belum lagi soal jumlah pembelian Anda dibandingkan dengan volume permintaan dan penawaran itu sendiri. Volume permintaan dan penawaran mencerminkan "market likuiditas" dari saham. Kalau volumenya besar, maka market likuiditasnya bagus. Ini sangat penting, sebab, kalau Anda membeli saham yang market likuiditasnya kecil, sama saja Anda harus menyimpan saham tersebut sepanjang masa. Apa maksudnya? Karena ketika Anda hendak menjualnya kembali, belum tentu ada investor lain yang mau membeli. Oleh karena itu, selain mengetahui lebih besar mana antara volume permintaan dan penawaran, Anda juga mesti mencermati seberapa besar total volumenya.

Dalam praktiknya, sebagian besar investor yang sudah piawai, biasanya akan mengalokasikan dana untuk membeli sebuah saham, maksimal adalah 5 persen dari volume yang terbentuk. Misalnya, saham "A", memiliki bid di harga Rp300, dengan volume 10.000 lot (5.000.600 lembar), maka Anda layak ikut serta menawar dengan volume sekitar 5 persen, atau 500 lot saja. Kenapa? Karena Anda harus "berkelahi" dengan peminat yang lain untuk mendapatkan saham tersebut. Jika jumlah yang Anda beli semakin besar, semakin sulit juga mendapatkannya, apalagi jika volume penawaran jauh di bawah volume permintaan. Selamat mencoba.
by: Elvyn G. Masassya

Mekanisme Transaksi Saham


Beberapa tulisan terdahulu sudah mengulas berbagai lika-liku pasar saham. Kalau kemudian Anda merasa tertarik untuk mulai berinvestasi, mungkin ada pertanyaan, bagaimana memulainya. Paparan berikut ini akan mengupas mengenai mekanisme transaksi saham secara ringkas, yang dapat menjadi masukan bagi Anda sebelum memulai transaksi.

Pertama, transaksi saham di pasar modal mesti dilakukan melalui perusahaan sekuritas yang terdaftar sebagai anggota bursa. Saat ini ada ratusan perusahaan sekuritas, dengan kualitas , yang berbeda. Sebagai investor, Anda mesti memilih perusahaan sekuritas yang bonafide dan tepercaya dalam mengelola dana investasi Anda. Bagaimana caranya? Perusahaan tersebut sebaiknya yang sudah cukup besar, memiliki modal yang memadai serta dana kelolaan triliunan rupiah. Juga dilengkapi oleh berbagai pendukung seperti lembaga riset dan orang-orang yang profesional, termasuk analis yang analisisnya objektif serta akurat. Juga yang tak kalah penting adalah kinerjanya dalam 3 atau 5 tahun terakhir terus berkembang.

Setelah Anda menentukan perusahaan sekuritas mama yang Anda percayai, maka Anda harus membuka account di perusahaan tersebut dan menempatkan sejumlah dana yang nantinya akan dipakai untuk bertransaksi saham. Beberapa perusahaan sekuritas mempersyaratkan dana minimal, misalnya Rp10 juta dan ada juga yang lebih besar dari itu. Dana tersebut akan dikelola oleh seseorang yang disebut sebagai A/E (Account Executive), atau sales dari perusahaan sekuritas.

Selanjutnya adalah melakukan transaksi. Dalam konteks ini, beberapa perusahaan sekuritas sudah menyediakan online trading, Anda selaku investor bisa melakukan transaksi sendiri melalui internet, dengan menggunakan password serta user id yang diberikan kepada Anda. Tetapi, jika Anda tidak nyaman dengan cara itu, Anda tetap bisa melakukan transaksi secara konvensional dengan memberi perintah order kepada A/E Anda via telepon, untuk selanjutnya AIE Anda akan menginstruksikan order Anda tadi kepada dealer/pialang di perusahaan sekuritas tersebut.

Kedua, menentukan pilihan saham. Sebagai investor ban, tentu Anda mesti memilih saham mana yang akan Anda beli. Untuk memudahkan, Anda bisa meminta hasil analisis saham dari perusahaan sekuritas. Biasanya perusahaan sekuritas yang bonafide menyediakan berbagai analisis fundamental maupun teknikal dari bermacam saham dan bahkan juga memberikan rekomendasi terhadap saham-saham yang layak beli, jual atau tetap dipegang. Umpamakan Anda yakin terhadap analisis tersebut, maka Anda bisa merailih salah satu saham yang direkomendasikan dan membeli saham tersebut.

Itu Baru dari aspek jenis sahamnya. Bagaimana dengan harga? Sebelum melakukan transaksi, Anda mesti meminta informasi dari A/E Anda, berapa permintaan/penawaran (bid offer) saham dimaksud, serta berapa besar volume bid dan juga volume offer-nya. Kalau volume bid lebih besar, maka Anda boleh pertinabangkan untuk melanjutkan membeli, karena biasanya harga akan terdongkrak ke atas. Ini seperti hukum pasar; demand vs supply. Jika permintaan lebih besar, maka harga barang akan meningkat. Lantas berapa harga yang Anda order? Katakanlah ada sebuah saham bid-nya Rp500, lalu offir-nya adalah Rp510, maka jika Anda ingin mendapatkan saham tersebut, tentu mesti memasang order di harga Rp500. Atau kalau Anda yakin harganya akan meningkat, malah Anda boleh membeli di harga Rp510, sehingga permintaan Anda akan lebih cepat terpenuhi.

Ketiga, biaya transaksi saham. Transaksi saham yang Anda lakukan melalui perusahaan sekuritas tentu ada biayanya. Lazimnya biaya itu saat ini adalah sekitar 0,25 basis poin untuk komisi beli dan 0,35 basis pain untuk komisi jual. Jadi, setiap kali Anda membeli dan menjual saham, Anda akan dikenakan biaya. Lebih dari itu, dari transaksi jual saham, juga akan dikenakan pph, karena transaksi jual tersebut memberikan pendapatan. Oleh karena itu, sebelum bertransaksi, baik beli ataupun jual, hitung dulu berapa biaya yang mesti ditanggung. Jangan sampai keuntungan dari menjual saham malah lebih kecil dari total biaya transaksi.

Apakah hal semacam itu mungkin? Sangat mungkin. Di pasar modal, harga saham bisa bergerak dalam rentang yang kecil. Seperti contoh tadi, kalau Anda membeli saham seharga Rp500, lalu menjualnya kembali di harga Rp510, maka keuntungan Anda adalah Rp10 per lembar saham. Jika Anda membeli sebesar 100 lot (50.000 lembar) maka nilai transaksi Anda adalah 50.000 lembar x Rp500 alias Rp25.000.000. Ketika Anda jual, nilai transaksi Anda adalah 50.000 lembar x Rp510 alias Rp25.500.000. Keuntungan kotor Anda Rp500.000. Tapi ingat, itu mesti dikurangi dengan biaya transaksi jual beli serta pph.

Keempat, laporan transaksi saham. Jika Anda kerap melakukan transaksi, tentu agak sulit untuk mencatat transaksi tersebut. Tapi tidak usah khawatir. Perusahaan sekuritas akan membuatkannya untuk Anda. Setiap transaksi yang Anda lakukan, baik beli maupun jual akan ada laporannya secara tertulis, termasuk basil dari transaksi itu sendiri serta posisi portofolio saham dan dana Anda. Semuanya transparan dan bisa dilacak. Laporan ini juga untuk memonitor apakah order transaksi yang Anda berikan dilaksanakan secara benar atau tidak oleh Anda. Laporan transaksi itu sendiri dibuat secara harian dan rekapitulasinya dapat diperoleh setiap saat.

Hal-hal tersebut adalah mekanisme kalau transaksi saham di pasar modal Anda lakukan berdasarkan keputusan Anda sendiri. Namun saat ini, cukup banyak perusahaan sekuritas yang menawarkan DF (discretionary fund.) Artinya, Anda menempatkan sejumlah dana di perusahaan tersebut, untuk kemudian perusahaan sekuritas itu tadi menggunakan dana Anda untuk jual bell saham sesuai dengan pilihan mereka. Anda tinggal duduk manis dan menunggu basil kelolaan dana Anda. Sayangnya, tidak ada yang bisa memberikan garansi bahwa pola semacam itu akan memberikan keuntungan. Bisa saja, dana Anda akan habis, karena transaksi saham yang dilakukan hanya menuai kerugian. Singkatnya, basil DF, baik itu untung maupun rugi, sepenuhnya menjadi tanggung jawab Anda. Kalau Anda salah pilih sekuritas, saja dengan menjadi Sinterklas. Oleh karena itu, jauh lebih baik jika Anda melakukan transaksi sendiri.

Kesimpulannya, bertransaksi saham di pasar modal, dewasa ini bukanlah hal sulit. Bisa dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Kendati berada di daerah pedalaman sekalipun Anda bisa bertransaksi melalui internet atau order via telepon. Sedangkan untuk membuka rekening di perusahaan sekuritas juga bisa dilakukan di kantor-kantor cabang sekuritas tersebut yang tersebar di seantero nusantara. Selamat bertransaksi.
by: Elvyn G. Masassya