a

Thursday, March 28, 2013

"Tabungan" Lebaran


Tampaknya pepatah bahwa permainan uang akan terus ada sepanjang peradaban manusia, bukanlah isapan jempol. Kita berkali-kali dikejutkan oleh peristiwa money game yang terus berulang, termasuk dalam skala seperti yang dilakukan oleh Madoff dan juga skema ponzi. Belum lama ini, modus yang mirip kembali mengemuka di daerah Jawa Barat. Seseorang melakukan pengumpulan dana dari masyarakat untuk kemudian dijanjikan mendapatkan hasil berlipat ganda di mana hasil investasinya akan dikembalikan kepada para peserta menjelang Lebaran. Konon, pengumpulan dana tersebut diistilahkan sebagai "tabungan" Lebaran. Namun, realitasnya, yang terjadi bukannya peserta mendapatkan imbal hasil, melainkan dana yang telah dikumpulkan raib tak berbekas. Dan sang penghimpun dana, saat ini meringkuk di tahanan polisi.

Kenapa hal semacam itu terus terjadi? Bagaimana sang pelaku bisa leluasa menjalankan modus operasinya? Dan lazimnya hanya akan terkuak tatkala "investasi" yang dilakukannya mengalami kegagalan? Coba kita lihat kasus yang di Jawa Barat tersebut. Sang pelaku sebenarnya beroperasi seperti bank. Ia mengumpulkan dana secara rutin dari masyarakat dalam jumlah tidak terlalu besar. Namun karena pengumpulan dana dilakukan secara terus-menerus maka dana tersebut berakumulasi. Ini persis seperti menghimpun dana tabungan. Namun tentu saja ilegal. Karena yang diperkenankan menghimpun dana masyarakat hanyalah bank dan mesti mendapatkan izin dari Bank Indonesia.

Lalu kenapa yang bersangkutan bisa melakukan hal tersebut? Jelas, karena ia tidak menyebut dirinya sebagai bank. Namun yang bersangkutan bergerak seperti lembaga investasi atau fund manager dan boleh jadi, seolah-olah pengumpulan dana tersebut disebut sebagai arisan investasi. Konkretnya, yang bersangkutan menawarkan imbal hasil tertentu dari dana yang dihimpun untuk kemudian dikembalikan pada saat menjelang Lebaran. Dan bagi "orang-orang" kecil, ide semacam itu tentu bisa sangat menarik. Sebab, iming-iming yang diberikan adalah sejumlah uang untuk Lebaran.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana yang bersangkutan bisa "memutar" dana yang dihimpun dan kemudian dikembalikan kepada peserta dalam jumlah yang menarik. Apalagi, konon kabarnya, pola semacam itu sudah berlangsung cukup lama dan selama ini semuanya berjalan lancar. Mudah ditebak, dana yang dihimpun sebenarnya oleh si penghimpun dipakai sebagai modal kerja untuk kegiatan bisnis. Apa pun itu jenis bisnisnya. Jika kondisi ekonomi sedang baik dan bisnis berkembang pesat, tentu bukan hal sulit untuk mendapatkan keuntungan. Berapa besar keuntungannya? Jika dalam beberapa tahun terakhir bunga kredit bank adalah sekitar 15 persen per tahun, tentu bisnis yang dijalankan mestinya bisa memberikan keuntungan di atas 15 persen. Nah, dengan hitungan sederhana seperti itu, tentu bukan hal sulit untuk berbagi keuntungan dengan para pemilik dana yang telah "meminjamkan" dananya dalam bentuk tabungan Lebaran. Dengan kata lain, yang bersangkutan bisa saja memberikan imbal hasil di atas 10 persen per tahun, kepada pemilik dana. Lalu, kenapa pada tahun ini gagal? Karena kondisi ekonomi memang tengah buruk, sehingga bisa jadi, keuntungan dari bisnis yang dijalankan sangat rendah atau bahkan merugi, sehingga yang bersangkutan tidak memiliki dana cukup untuk bisa dibagikan sebagai kontra prestasi bagi para pemilik dana.

Itu adalah asumsi jika dana yang dihimpun digunakan secara benar, yakni untuk menjalankan bisnis. Dan itu bisa diketahui dari persentase imbal hasil yang dibagikan kepada peserta, yakni, seperti contoh di atas adalah sekitar 10-15 persen per tahun. Bagaimana jika imbal hasil yang dijanjikan jauh di atas itu? Katakanlah sekitar 50 persen per tahun, atau lebih besar. Jelas, tidak mudah mencari bisnis yang bisa menghasilkan keuntungan sebesar itu. Dengan kata lain, bukan tidak mungkin dana yang dikumpulkan dari peserta sebenarnya bukan untuk bisnis, tetapi dikelola seperti skema ponzi atau pola rantai, di mama dana peserta baru digunakan untuk membayar ke peserta lama. Begitu seterusnya. Dan pola ini akan menemui jalan buntu, ketika peserta baru sudah tidak ada lagi. Sehingga dana yang tersedia sudah tidak mencukupi untuk dipakai membayar ke peserta lama. Nah, apakah pola semacam itu yang terjadi? Kita belum tahu, namun melihat gelagatnya, hampir semua kasus penipuan penghimpunan dana untuk investasi "bohong", apa pun jenis dan namanya menggunakan modus seperti itu.

Dari fenomena yang sekarang mengemuka kembali di Jawa Barat itu menunjukkan bahwa sepanjang masyarakat pemilik dana masih tergiur dengan iming-iming hasil investasi besar, maka skema ponzi dan sejenisnya berkemungkinan untuk terus ada. Dus, upaya menghentikan investasi "bohong" seperti "tabungan" Lebaran itu, sebenarnya ada di tangan masyarakat selaku pemilik dana. Dalam investasi tidak ada "makan siang gratis". Tidak ada potensi imbal hasil besar yang tidak diikuti oleh risiko besar. Apalagi, jika pengelolaan dana tidak dilakukan secara transparan, bisa dipastikan pasti ada sesuatu di balik pengelolaan dana tersebut. Oleh karena itu, jika Anda tidak ingin menjadi korban berikutnya, maka jika ingin berinvestasi atau ketika mendapatkan tawaran-tawaran semacam itu, mestinya ada beberapa hal yang mesti dipertimbangkan dan dicermati.

Pertama, cek aspek legalitas dari lembaga yang menawarkan. Apakah yang bersangkutan memiliki izin atau tidak. Kedua, cek mekanisme lembaga yang menawarkan produk investasi itu dalam "memutar" dana Anda. Jika tidak ada transparansi dan tidak ada logika dalam penjelasannya, boleh dibilang, Anda sedang memasuki "mulut singa"; bersiap-siap suatu ketika untuk kehilangan dana. Ketiga, investasi apalagi jika menempatkan dana pada satu pihak, sangat didasarkan atas kepercayaan dan track record dari si penyelenggara investasi. Kalau Anda tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai sepak terjang si penyelenggara, sebaiknya hindari menempatkan dana di situ. Keempat, lembaga penyelenggara investasi bukanlah sinterklas atau yayasan yang berbagi sedekah kepada Anda. Tetapi bisa jadi sebaliknya, apalagi kalau lembaga penyelenggara investasi itu hanya sekadar memberi janji tapi tidak bisa menunjukkan hal-hal sebagaimana telah diutarakan.
by: Elvyn G. Masassya
 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...