a

Monday, March 25, 2013

Sisi Gelap Investasi


Investasi memang merupakan salah satu cara paling efektif untuk meraih kesejahteraan finansial. Bahkan, melalui investasi seseorang bisa menyuruh uangnya "bekerja". Jadi, uang mencari uang. Bukan Anda yang mencari uang, baik itu sebagai pekerja ataupun wirausaha. Itu sebabnya, seseorang yang berpenghasilan tetap sebaiknya menyisihkan sebagian penghasilan tetapnya untuk diinvestasikan, agar di masa depan, ketika yang bersangkutan tidak bekerja lagi, tetap memiliki penghasilan melalui hasil investasi. Itu adalah situasi ideal berinvestasi. Namun, dalam realitasnya, investasi juga bisa membuat seseorang kehilangan kesejahteraan yang telah dimiliki. Kok bisa? Bisa, karena investasi juga memiliki sisi gelap yang terkait dengan personality seseorang. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas beberapa sisi gelap tersebut, agar Anda terhindar dari permasalahan dalam berinvestasi.

Pertama, jebakan imbal hasil besar. Ada seribu satu pilihan investasi, baik di pasar keuangan maupun sektor ril. Dan yang masuk akal hingga yang tidak. Tetapi, bagi sebagian kalangan, yang dijadikan indikator adalah imbal hasil yang besar. Artinya, kalau investasi tersebut menjanjikan keuntungan yang menggiurkan, maka banyak pihak yang akan tertarik. Padahal, imbal hasil besar pasti dibarengi dengan risiko yang juga besar. Oleh karena itu, dalam berinvestasi, yang semestinya dilihat bukanlah tawaran imbal basil investasi, melainkan berapa target keuntungan investasi yang ingin Anda peroleh. Secara kelaziman, jika Anda bisa memperoleh hasil investasi dua kali lipat laju inflasi, itu sudah tergolong bagus. Konkretnya, jika laju inflasi adalah sebesar 7 persen per tahun, maka imbal hasil investasi sebesar 14-15 persen per tahun sudah sangat memadai.

Kedua, "keserakahan" investasi. Anda tentu pernah mendengar seseorang yang tiba-tiba menjadi kaya raya melalui investasi saham, namun kemudian tiba-tiba pula menjadi miskin kembali. Kenapa? Hanya satu jawaban, yakni serakah. Ketika seseorang berinvestasi saham, dan saham yang dipilihnya sudah menuai capital gain, berkemungkinan untuk mulai tertarik pada saham-saham lain, yang belum tentu memiliki kinerja fundamental bagus. Saham-saham lain itu bergerak harganya karena dipicu oleh sentimen pasar, atau "digoreng'" oleh bandar saham. Nah, jika Anda ikut-ikutan dalam "perrnainan" saham seperti itu dan berharap untuk memperoleh keuntungan, maka yang kerap terjadi adalah "buntung". Sebab, ketika saham Anda beli, harganya sudah di atas. Selanjutnya, para bandar meninggalkan Anda tanpa bisa keluar dari saham tersebut, hingga suatu ketika nasib baik menghampiri Anda, jika harga saham tersebut kembali meningkat.

Ketiga, "ketidaksabaran" berinvestasi. Anda tentu pernah mendengar istilah "timing" dalam investasi. Artinya, kapan Anda mulai berinvestasi dan kapan keluar. Istilah ini kerap dilekatkan dalam transaksi saham di pasar modal. Sebagian besar investor sangat paham bahwa kalau membeli saham, beli di saat harga rendah dan jual di harga atas. Masalahnya, kapan satu saham dianggap harganya murah dan kapan saat menjualnya? Berapa persen kenaikan dari satu saham, sehingga layak disebut sudah tinggi? Jawabannya sangat relatif Namun yang sering terjadi adalah, seorang investor terlanjur menjual sahamnya pada saat harga baru saja mulai meningkat. Investor semacam ini tidak memiliki kesabaran yang cukup untuk menunggu capital gain yang lebih besar. Itu sebabnya, keuntungan investasinya menjadi sangat terbatas.

Keempat, investasi berdasarkan "gosip". Masih ingat kisah Qisar ataupun arisan berantai yang memakan banyak korban? Peristiwa semacam ini bisa terjadi sebenarnya bukan saja karena sang korban memang memiliki perilaku "serakah", ingin mendapatkan imbal hasil besar tanpa memahami risikonya, melainkan karena tawaran investasi itu sendiri datang dari "mulut ke mulut". Jadi, banyak kalangan ikut-ikutan karena tetangga dan ataupun saudaranya sudah ikut serta lebih dahulu. Jadi, mereka terjebak ramai-ramai dan akhirnya menyesal ramai-ramai pula. Apa yang bisa dicermati dari fenomena tersebut? Jangan pernah berinvestasi karena tawaran "mulut ke mulut". Sebab, selain "mulut" setiap orang berbeda, yang paling mendasar adalah, investasi tidak pernah menawarkan diri. Investasi mesti dicari. Dan kebutuhan tiap orang dalam berinvestasi berbeda.

Kelima, investasi berdasarkan utang. Benar, jika utang yang dilakukan diperuntukkan bagi kegiatan produktif yang terukur risikonya, maka utang untuk berinvestasi bukanlah hal Karam. Yang menjadi masalah adalah seberapa besar utang itu dilakukan. Banyak kalangan terjebak pada utang, karena ingin melakukan ekspansi secara terus-menerus, sehingga beban bunga dan angsuran semakin besar, sementara basil investasi tidak memadai untuk membayar kembali utang tersebut. Akibatnya, untuk menutupi utang yang satu dilakukan utang baru, alias gali lubang tutup lubang. Pola ini dalam jangka panjang, bukan saja memberatkan, tetapi juga bisa menggerus harta yang telah dimiliki. Oleh karena itu, hindari utang yang berlebihan dalam membiayai investasi.

Selain hal-hal yang dipaparkan ini, tentu masih sangat banyak hal¬hal negatif yang terkait dengan kegagalan investasi. Namun, yang mesti diingat, semua sisi gelap tersebut sebenarnya bergantung pada personality setiap investor. Hal-hal tersebut bisa berlaku pada satu investor namun tidak terjadi pada investor lain. Oleh karena itu, sebelum berinvestasi, ada baiknya direnungi kembali profil personality Anda, apakah tergolong investor yang mudah terpengaruh atau memiliki pendirian. Keberhasilan berinvestasi, sangat bergantung pada karakter personality Anda.

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...