a

Thursday, March 21, 2013

Keputusan Keuangan


Setiap orang pasti pernah membuat keputusan keuangan, bahkan sejak seseorang mulai mengenal uang. Bisa ketika masih duduk di Sekolah Dasar, ataupun bahkan sebelum itu. Seorang anak yang diberikan uang jajan, misalnya, sudah diberi kebebasan untuk membeli makanan apa yang disukainya atau malah uang tersebut disimpan dan ditabung. Jadi, keputusan keuangan tidak terkait dengan usia seseorang. Yang menjadi masalah adalah, apakah keputusan keuangan itu tepat, bijaksana dan memberi manfaat atau tidak kepada si pemutus.

Kalau mau jujur, masih banyak kalangan yang membuat keputusan keuangan bukan berdasarkan pertimbangan rasional, melainkan didorong oleh impuls, atau sekadar emosional belaka. Lebih jauh lagi, ada juga keputusan keuangan yang dibuat sebenarnya tidak datang dari din sendiri, namun karena dorongan lingkungan sekitar, entah itu keluarga, teman ataupun kerabat. Apakah itu salah? Tidak selalu salah. Asalkan, keputusan tersebut sejalan dengan rasionalitas. Tetapi dalam praktiknya, keputusan keuangan yang dibuat semata berdasarkan emosional, biasanya berakhir dengan penyesalan.

Lantas bagaimana agar keputusan yang dibuat tidak menjadi penyesalan? Setidaknya ada beberapa faktor yang sebaiknya dipertimbangkan sebelum membuat sebuah keputusan. Pertama, keputusan harus menjadi bagian dari upaya pencapaian tujuan keuangan. Yang paling sederhana misalnya, keputusan untuk makan di restoran. Makan tersebut merupakan bagian dari kebutuhan konsumtif. Dalam perencanaan keuangan Anda, tentu ada alokasi berapa besar dari penghasilan Anda untuk memenuhi kebutuhan konsumtif. Nah, ketika Anda memutuskan untuk makan di sebuah restoran mewah, maka harus dipastikan bahwa tindakan tersebut tidak rnerusak alokasi yang telah disiapkan.

Memang, makan di restoran mewah mungkin sepele. Bagi sebagian kalangan, jumlahnya tidaklah seberapa. Tetapi jika hal tersebut dilakukan secara berulang-ulang, tanpa ada alokasi anggaran, maka pada gilirannya pasti akan mengganggu kondisi keuangan secara menyeluruh. Apalagi, jika perilaku semacam itu dilakukan dengan menggunakan kartu kredit. Jumlah pengeluaran barn akan diketahui tatkala tagihan kartu kredit tiba, dan Anda bisa terhenyak melihat jumlah tagihan yang di luar dugaan.

Contoh yang lebih ekstrem adalah ketika "lapar mata" atau "lapar gengsi" untuk memiliki barang-barang bermerek. Katakanlah Anda sedang jalan-jalan ke mal bersama teman-teman. Lalu mampir ke sebuah butik yang tengah melakukan penjualan promosi atau "sale". Besar kemungkinan Anda akan terpengaruh dan tergiur untuk membeli. Apalagi kalau promosinya sampai 50 persen. Memang kelihatannya besar, tetapi harga orisinal dari barang-barang itu sebenarnya sudah mahal sekali. Sebut saja tas bermerek. Harganya ada yang puluhan juta. Namun karena diskon 50 persen Anda menjadi terpancing dan turut membeli, dengan berbagai alasan, termasuk ingin memiliki barang bermerek karena gengsi. Yang terjadi kemudian adalah penyesalan. Sebab, sebenarnya Anda tidak membutuhkan tas bermerek tersebut dan lebih dari itu, tidak masuk dalam perencanaan keuangan Anda. Anda mengambil keputusan keuangan semata-mata berdasarkan emosional.

Kedua, keputusan keuangan mesti melihat dampaknya, apakah untuk bersifat jangka pendek, menengah, atau panjang. Umpamakan Anda belum memiliki rumah, Dan Anda saat ini tinggal di rumah kontrakan. Sementara itu di sisi lain, sewa rumah kontrakan itu cukup besar. Maka bisa muncul pertanyaan di benak Anda, apakah akan terus mengontrak, sembari menunggu kenaikan pendapatan dan suatu ketika mampu membeli rumah, atau saat ini juga Anda berencana membeli rumah dengan pinjaman bank. Pilihan terhadap mengontrak atau membeli rumah jelas akan memberi dampak yang bersifat jangka panjang. Artinya, kalau Anda membeli rumah, maka salah satu tujuan keuangan Anda akan segera tercapai. Namun di sisi lain, Anda juga akan menanggung utang berupa credit kepemilikan rumah yang juga bersifat jangka panjang. Lantas mana yang lebih baik? Sederhana saja. Kalau Anda tetap mengontrak rumah, maka Anda tidak memiliki utang, tetapi juga tidak memiliki rumah. Di sisi lain, sebagian penghasilan Anda akan tergerus untuk membayar biaya sewa atau kontrak rumah. Sementara itu, kalau Anda membeli rumah, Anda tidak perlu membayar biaya sewa lagi, tetapi pengeluaran Anda akan teralokasi untuk membayar angsuran credit. Pengeluaran di satu sisi, memiliki aset di sisi lain. Jelas ini merupakan pilihan yang lebih baik.

Ketiga, keputusan keuangan harus memiliki latar belakang. Bagi sebagian kalangan konsep ini mungkin aneh. Namun, jika Anda tidak ingin mengalami masalah dalam keuangan, maka setiap keputusan keuangan memang sebaiknya didasari oleh latar yang bisa dipertanggungjawabkan rasionalitasnya. Jadi, tidak ada sepeser pun pengeluaran Anda yang bersifat ,suka-suka. Kalaupun Anda ingin ada pengeluaran yang bersifat tidak terduga, maka sejak awal harus ada alokasi untuk pengeluaran tersebut. Misalnya, 10 persen dari penghasilan Anda memang diperuntukkan bagi kegiatan yang sekadar jadi cost. Apakah itu bagi-bagi uang bagi orang-orang yang menurut Anda pantas dibagi, atau untuk kegiatan yang bersifat hobi. Namun total alokasi untuk hal-hal seperti itu, seperti diuraikan di atas, tidak boleh melebihi 10 persen. Kecuali, Anda ingin menuai masalah keuangan di kemudian hari. Silakan saja.

Kesimpulannya, keputusan keuangan sebenarnya merupakan salah satu elemen penting dalam memastikan apakah Anda akan berhasil atau gagal dalam pengelolaan keuangan dan pada gilirannya mencapai tujuan keuangan. Keputusan yang bersifat reaktif atau tanpa perencanaan, lazimnya akan lebih banyak memberikan dampak negatif. Dus, jika perilaku Anda tergolong reaktif, impulsif dan mudah dipengaruhi pihak lain, tidak ada salahnya untuk mulai memperbaikinya, kalau memang menginginkan hidup Anda, dalam konteks keuangan, tidak mengalami masalah.

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...