Sebagian besar dari Anda tentu paham bahwa keberhasilan dalam berinvestasi bukan saja karena pilihan investasinya tepat, tetapi juga karena disiplin dalam menerapkan resep (baca: strategi) yang dipilih. Namun, dewasa ini banyak sekali resep dalam berinvestasi. Apalagi kalau investasi itu dilakukan di pasar modal.
Bermain saham, membeli reksadana, atau bahkan bermain indeks membutuhkan resep yang berbeda-beda bagi setiap orang. Kenapa demikian? Karena, tujuan investasi setiap orang memang berbeda-beda. Ada yang ingin mendapatkan fixed return atau pendapatan tetap, ada pula yang ingin memaksimalkan imbal hasil investasinya. Tentu saja, strategi yang dipilih akan berbeda, karena profit risiko dari setiap investor memang berbeda. Ada yang risk taker ada pula yang risk avoider. Itu sebabnya, jika ada ada 2 (dua) orang menggunakan resep yang sama terhadap investasi yang sama, hasilnya belum tentu sama. Dengan kata lain, yang satu akan untung, sementara yang lainnya mungkin saja akan "buntung". Dus, agar Anda tidak termasuk kalangan yang "buntung" jika berinvestasi, tidak ada salahnya kita review lagi bagaimana resep berinvestasi dewasa ini.
Hakikatnya ada seribu satu jenis resep dalam berinvestasi. Seperti kalau kita pergi ke dokter, sakit yang sama, bisa mendapatkan resep yang berbeda, meskipun itu dari dokter yang sama. Kenapa demikian? Karena kemampuan tubuh setiap orang dalam merespons obat yang diberikan memang tidak sama. Begitu pula dengan resep investasi. Misalnya, Anda ingin berinvestasi di pasar modal, maka sangat terlarang bagi Anda untuk meng-"copy" strategi yang diterapkan oleh teman Anda. Karena kemampuan diri Anda dan teman Anda berbeda dalam menanggung risiko. Oleh karena itu, resep pertama dalam berinvestasi adalah, pilihan investasi harus bersifat eksklusif, personal, individual, disesuaikan dengan karakteristik personal Anda.
Selanjutnya, jangan pernah menempatkan seluruh dana investasi Anda pada satu jenis investasi. Ini memang rumusan dan sudah kuno. Tapi, faktanya, masih sangat banyak kalangan, yang tanpa disadari selalu terjebak pada pakem ini. Misalnya, kalangan yang baru mendapat uang pesangon karena kena PHK atau ingin berkarier di bidang baru, setelah tidak lagi bekerja pada perusahaan sebelumnya. Mereka, kerap kali, menempatkan seluruh uang pesangonnya pada satu investasi, apakah itu main saham, memulai satu bisnis atau bahkan hanya menaruhnya begitu saja di tabungan. Semua itu kurang benar. Kalau Jana pesangon hanya ditempatkan di tabungan, nilainya akan tergerus oleh laju inflasi dan biaya administrasi tabungan itu sendiri. Jadi, meskipun aman, namun return-nya sangat tidak maksimal. Oleh karena itu, berapa pun besarnya dana yang hendak diinvestasikan, ia mesti ditempatkan dalam berbagai jenis investasi, atau lazim disebut dengan diversifikasi.
Hal yang mesti dipahami, diversifikasi itu pun memiliki resep sendiri. Artinya, bukan sekadar "membagi-bagi" dana dalam investasi yang berbeda. Namun harus lebih dari itu. Konkretnya, diversifikasi itu sendiri harus didasarkan pada tujuan investasi Anda, sehingga selain jenis investasi berbeda, target jangka waktu investasi juga berbeda, harapan akan imbal hasil juga berbeda dan tentu saja strateginya mesti berbeda. Ambil contoh, Anda memiliki uang Rp100 juta. Dana tersebut mesti ditempatkan pada beberapa jenis investasi, paling tidak yang memenuhi beberapa kriteria, antar lain, investasi untuk jangka pendek, menengah, dan panjang. Lalu investasi yang berisiko rendah, moderat, dan tinggi. Kalau mau konservatif, investasi jangka panjang mestinya dipilih yang risikonya lebih rendah. Dan investasi jangka pendek, boleh yang memiliki risiko agak lebih tinggi.
jika pilihan investasi Anda adalah di pasar modal, sebagai misal, maka investasi itu mesti ditempatkan di saham, obligasi, dan reksadana. Selanjutnya, saham yang dipilih juga ada yang dipegang untuk jangka panjang, dengan tujuan mengharapkan dividen dan kenaikan harga saham karena faktor fundamental emiten. Tetapi, bisa juga sebagian dana dibelikan saham yang dimaksudkan untuk trading, saham tersebut bisa dibeli kapan saja dan dijual kapan saja, bergantung pada pergerakan harga pasar.
Demikian juga dengan obligasi, ada yang memang dimaksudkan di¬pegang hingga jatuh tempo, misalnya ORI (Obligasi Republik Indonesia), di mana bond holder berharap mendapatkan imbal hasil tetap sampai dengan jatuh tempo. Tetapi jika ingin lebih variatif, obligasi yang dibeli juga sebaiknya memiliki jangka waktu jatuh tempo yang berbeda. Dan pola diversifikasi semacam ini bisa memberikan peluang keuntungan yang lebih besar, karena bond holder pada saat tertentu bisa menjual kembali obligasi jika terjadi perubahan harga di pasar, misalnya akibat pergerakan suku bunga. Ringkasnya, diversifikasi investasi mesti dilakukan seluas mungkin, untuk meminimalisir risiko dan mengoptimalkan return.
Resep yang lain adalah bahwa resep itu sendiri sebaiknya diberikan oleh orang yang kompeten untuk menerbitkan resep. Kalau Anda sakit, resep yang benar mestinya diberikan oleh dokter, bukan oleh tetangga sebelah rumah atau pasar Anda yang mungkin merasa tahu banyak hal. Begitu Pula dengan resep investasi untuk diri Anda. Benar, yang tahu persis mengenai karakteristik personal Anda adalah diri Anda sendiri, kecuali jika terhadap diri sendiri pun Anda berbohong. Namun, agar "takaran" resep itu sendiri menjadi pas, sebaiknya Anda berdiskusi dengan para ahli di bidang investasi, yang saat ini cukup banyak ditawarkan oleh bank maupun lembaga sekuritas. Tentu saja, harus dibedakan antara resep investasi dan prospectus produk investasi. Sebab, jika Anda keliru memilih si konsultan, maka yang Anda temui sebenarnya hanyalah salesman produk investasi. Jadi, resep ketiga dalam berinvestasi adalah, hati-hati memilih siapa yang Anda inginkan memberikan resep itu kepada diri Anda. Selamat mencoba.
by : Elvyn G. Masassya