Kalau kekayaan Ku sebuah perjalanan, paling tidak ada 5 (lima) fase yang akan mengemuka. Pertama, keinginan untuk menjadi kaya. Kedua, bagaimana meraih kekayaan. Ketiga, bagaimana menjadi lebih kaya. Keempat, bagaimana mempertahankan kekayaan. Kelima, bagaimana berbagi kekayaan.
Ihwal keinginan untuk menjadi kaya dengan segala perilaku orang kaya sudah dibahas dalam tulisan terdahulu. Demikian juga langkah-langkah meraih kekayaan—secara halal dan terencana, tentunya—juga sudah sempat diulas. Lantas bagaimana untuk menjadi lebih kaya? Segmen ini layak dicermati lebih jauh, mengingat cukup banyak kisah orang kaya yang kemudian jatuh miskin. Jangankan menjadi lebih kaya, malah mempertahankannya saja sul. Oleh karena itu, memaknai kekayaan secara benar dan mengupayakannya menjadi lebih kaya merupakan salah satu inti dari hakikat kekayaan.
Orang disebut kaya, jika jumlah hartanya lebih besar dari utang. Hartanya merupakan akumulasi dari pendapatan yang diinvestasikan dan atau diperoleh sehingga menambah kekayaan yang dimiliki. Kekayaan itu sendiri, dalam bentuk aset, bisa dibagi menjadi aset produktif dan aset tidak produktif Seseorang akan menjadi lebih kaya, jika aset produktifnya cukup signifikan. Sebaliknya, akan bisa menjadi miskin kembali jika asetnya hanya berupa aset konsumtif Untuk memudahkan pemahaman, kita ambil saja contoh si Polan dan si Badu, yang sama-sama memiliki aset bersih Rp 1 miliar. Keduanya adalah profesional, yang bekerja pada sebuah perusahaan yang sama. Hanya saja, gaji Polan masih lebih besar dari gaji Badu.
Polan memiliki aset sebesar Rp3 miliar, tetapi jumlah utangnya mencapai Rp2 miliar. Sementara, si Badu, hanya memiliki aset sebesar Rp2 miliar, sementara utangnya adalah Rpl miliar. Dengan demikian kedua orang tersebut sebenarnya memiliki kekayaan bersih yang sama, yakni Rp 1 miliar. Namun, di mata kebanyakan masyarakat, boleh jadi si Polan terlihat lebih kaya. Kenapa? Karena dari jumlah asetnya lebih besar. Padahal hakikatnya tidak demikian. Dan suatu ketika, malah Polan menjadi lebih miskin ketimbang si Badu. Bagaimana bisa? Bisa, karena struktur aset Polan lebih didominasi oleh aset konsumtif Konkretnya begini.
Dari Rp 3 miliar aset yang dimiliki oleh Polan, sebesar Rp 1 miliar adalah dalam bentuk rumah yang ditempati. Lalu Rp 1 miliar lagi adalah 2 mobil. Mobil yang satu dipakai untuk sehari-hari, sedangkan mobil yang satu lagi teronggok di garasi dan hanya dipakai sekali-kali Aset yang Rp l miliar lagi ada dalam bentuk deposito dan tabungan sebesar Rp500 juta, dan sisanya yang Rp500 juta lagi berupa perhiasan dan aksesori, seperti jam tangan, kalung, dan barang-barang koleksi lainnya yang bersifat konsumtif Pendek kata, aset produktif Polan tidak lebih dari Rp500 juta.
Di sisi lain, aset Badu yang Rp2 miliar terdiri atas rumah yang ditempati senilai Rp500 juta. Lalu sebuah kendaraan seharga Rp300 juta. Kemudian aksesori dan lain sebagainya yang tidak lebih dari Rp100 juta. Selebihnya, senilai Rp 1,1 miliar tersebar dalam bentuk deposito berjangka, saham, reksa dana, dan juga investasi langsung di sebuah restoran sederhana. Dengan kata lain, aset produktif Badu lebih besar dibanding aset konsumtifnya. Jika dibandingkan dengan Polan, aset produktif Badu mencapai 2 kali lipatnya. Lantas apa yang akan terjadi? Dalam beberapa tahun ke depan, Badu berpeluang lebih besar menjadi lebih kaya. Sebaliknya, Polan, jika tidak hati-hati, bukan saja akan kalah asetnya dibanding Badu, namun aset yang dimiliki saat ini akan berkurang dan malah menghilang. Kenapa?
Polan memiliki utang Rp2 miliar, yang digunakan untuk membeli rumah dan mobil. Sementara, Badu juga memiliki utang sebesar Rp l miliar yang digunakan untuk membeli rumah, mobil, dan modal kerja di usaha sampingan berupa restoran. Artinya, utang Badu bisa dibayar kembali dari usaha restorannya. Selain itu, Badu memiliki potensial pendapatan tambahan dad dividen maupun capital gain saham yang dimilikinya maupun NAV reksadana. Sementara, Polan kendati memiliki harta lebih besar, namun untuk membayar kembali utangnya semata-mata bergantung pada pendapatan rutin yang diperolehnya. Akhirnya, tidak ada lagi sisa pendapatan Polan yang bisa menambah asetnya. Sementara, Badu, kendati gajinya lebih kecil, namun memiliki potensi pendapatan lain dari aset produktifnya. Konkretnya, aset Badu bekerja lebih dibandingkan aset Polan.
Kesimpulan apa yang bisa diraih dari ilustrasi ini? Besarnya aset yang dimiliki tidak menjamin seseorang akan menjadi lebih kaya, jika aset yang dimiliki tidak dalam bentuk aset produktif, gaji yang lebih kecil bukan berarti tidak mampu mengakumulasi kekayaan, jika sebagian dari gaji tersebut dialokasikan menjadi aset produktif.
Singkatnya, menjadi lebih kaya sesungguhnya tidak bergantung pada berapa besar aset dan gaji atau pendapatan yang dimiliki saat in Menjadi lebih kaya sangat dipengaruhi oleh komposisi aset. Jadi, kalaupun ada seseorang yang kelihatannya sangat kaya, tidak pernah ada jaminan ia akan menjadi lebih kaya. Sebaliknya, tidak pula tertutup kemungkinan bagi seseorang yang saat ini tampaknya biasa-biasa, suatu ketika bisa menjadi sangat kaya. Ini juga merupakan bukti bahwa kekayaan bukanlah suatu kondisi yang diperoleh secara seketika. Kekayaan yang sejati diraih melalui suatu pemupukan aset yang didasarkan atas perencanaan yang matang, tindakan yang tidak "konsumerisme" dan apalagi "snobis", sekadar untuk unjuk gigi agar disebut kaya. Karena, dalam realitasnya, tidak sedikit kalangan yang sebenarnya cuma "sok kaya" dengan memamerkan segala aset konsumtifnya. Padahal di sisi lain, itu semua diperoleh melalui pinjaman bank yang notebene suatu ketika mesti dibayar kembali dan bukan tidak mungkin hanya akan terbayar oleh aset itu sendiri, alias disita. Agar kita tidak terjebak pada situasi yang memalukan tersebut, lebih balk bercita-cita menjadi kaya dengan cara yang lebih cerdas, yakni memproduktifkan aset yang dimiliki. Selamat mencoba.
Ihwal keinginan untuk menjadi kaya dengan segala perilaku orang kaya sudah dibahas dalam tulisan terdahulu. Demikian juga langkah-langkah meraih kekayaan—secara halal dan terencana, tentunya—juga sudah sempat diulas. Lantas bagaimana untuk menjadi lebih kaya? Segmen ini layak dicermati lebih jauh, mengingat cukup banyak kisah orang kaya yang kemudian jatuh miskin. Jangankan menjadi lebih kaya, malah mempertahankannya saja sul. Oleh karena itu, memaknai kekayaan secara benar dan mengupayakannya menjadi lebih kaya merupakan salah satu inti dari hakikat kekayaan.
Orang disebut kaya, jika jumlah hartanya lebih besar dari utang. Hartanya merupakan akumulasi dari pendapatan yang diinvestasikan dan atau diperoleh sehingga menambah kekayaan yang dimiliki. Kekayaan itu sendiri, dalam bentuk aset, bisa dibagi menjadi aset produktif dan aset tidak produktif Seseorang akan menjadi lebih kaya, jika aset produktifnya cukup signifikan. Sebaliknya, akan bisa menjadi miskin kembali jika asetnya hanya berupa aset konsumtif Untuk memudahkan pemahaman, kita ambil saja contoh si Polan dan si Badu, yang sama-sama memiliki aset bersih Rp 1 miliar. Keduanya adalah profesional, yang bekerja pada sebuah perusahaan yang sama. Hanya saja, gaji Polan masih lebih besar dari gaji Badu.
Polan memiliki aset sebesar Rp3 miliar, tetapi jumlah utangnya mencapai Rp2 miliar. Sementara, si Badu, hanya memiliki aset sebesar Rp2 miliar, sementara utangnya adalah Rpl miliar. Dengan demikian kedua orang tersebut sebenarnya memiliki kekayaan bersih yang sama, yakni Rp 1 miliar. Namun, di mata kebanyakan masyarakat, boleh jadi si Polan terlihat lebih kaya. Kenapa? Karena dari jumlah asetnya lebih besar. Padahal hakikatnya tidak demikian. Dan suatu ketika, malah Polan menjadi lebih miskin ketimbang si Badu. Bagaimana bisa? Bisa, karena struktur aset Polan lebih didominasi oleh aset konsumtif Konkretnya begini.
Dari Rp 3 miliar aset yang dimiliki oleh Polan, sebesar Rp 1 miliar adalah dalam bentuk rumah yang ditempati. Lalu Rp 1 miliar lagi adalah 2 mobil. Mobil yang satu dipakai untuk sehari-hari, sedangkan mobil yang satu lagi teronggok di garasi dan hanya dipakai sekali-kali Aset yang Rp l miliar lagi ada dalam bentuk deposito dan tabungan sebesar Rp500 juta, dan sisanya yang Rp500 juta lagi berupa perhiasan dan aksesori, seperti jam tangan, kalung, dan barang-barang koleksi lainnya yang bersifat konsumtif Pendek kata, aset produktif Polan tidak lebih dari Rp500 juta.
Di sisi lain, aset Badu yang Rp2 miliar terdiri atas rumah yang ditempati senilai Rp500 juta. Lalu sebuah kendaraan seharga Rp300 juta. Kemudian aksesori dan lain sebagainya yang tidak lebih dari Rp100 juta. Selebihnya, senilai Rp 1,1 miliar tersebar dalam bentuk deposito berjangka, saham, reksa dana, dan juga investasi langsung di sebuah restoran sederhana. Dengan kata lain, aset produktif Badu lebih besar dibanding aset konsumtifnya. Jika dibandingkan dengan Polan, aset produktif Badu mencapai 2 kali lipatnya. Lantas apa yang akan terjadi? Dalam beberapa tahun ke depan, Badu berpeluang lebih besar menjadi lebih kaya. Sebaliknya, Polan, jika tidak hati-hati, bukan saja akan kalah asetnya dibanding Badu, namun aset yang dimiliki saat ini akan berkurang dan malah menghilang. Kenapa?
Polan memiliki utang Rp2 miliar, yang digunakan untuk membeli rumah dan mobil. Sementara, Badu juga memiliki utang sebesar Rp l miliar yang digunakan untuk membeli rumah, mobil, dan modal kerja di usaha sampingan berupa restoran. Artinya, utang Badu bisa dibayar kembali dari usaha restorannya. Selain itu, Badu memiliki potensial pendapatan tambahan dad dividen maupun capital gain saham yang dimilikinya maupun NAV reksadana. Sementara, Polan kendati memiliki harta lebih besar, namun untuk membayar kembali utangnya semata-mata bergantung pada pendapatan rutin yang diperolehnya. Akhirnya, tidak ada lagi sisa pendapatan Polan yang bisa menambah asetnya. Sementara, Badu, kendati gajinya lebih kecil, namun memiliki potensi pendapatan lain dari aset produktifnya. Konkretnya, aset Badu bekerja lebih dibandingkan aset Polan.
Kesimpulan apa yang bisa diraih dari ilustrasi ini? Besarnya aset yang dimiliki tidak menjamin seseorang akan menjadi lebih kaya, jika aset yang dimiliki tidak dalam bentuk aset produktif, gaji yang lebih kecil bukan berarti tidak mampu mengakumulasi kekayaan, jika sebagian dari gaji tersebut dialokasikan menjadi aset produktif.
Singkatnya, menjadi lebih kaya sesungguhnya tidak bergantung pada berapa besar aset dan gaji atau pendapatan yang dimiliki saat in Menjadi lebih kaya sangat dipengaruhi oleh komposisi aset. Jadi, kalaupun ada seseorang yang kelihatannya sangat kaya, tidak pernah ada jaminan ia akan menjadi lebih kaya. Sebaliknya, tidak pula tertutup kemungkinan bagi seseorang yang saat ini tampaknya biasa-biasa, suatu ketika bisa menjadi sangat kaya. Ini juga merupakan bukti bahwa kekayaan bukanlah suatu kondisi yang diperoleh secara seketika. Kekayaan yang sejati diraih melalui suatu pemupukan aset yang didasarkan atas perencanaan yang matang, tindakan yang tidak "konsumerisme" dan apalagi "snobis", sekadar untuk unjuk gigi agar disebut kaya. Karena, dalam realitasnya, tidak sedikit kalangan yang sebenarnya cuma "sok kaya" dengan memamerkan segala aset konsumtifnya. Padahal di sisi lain, itu semua diperoleh melalui pinjaman bank yang notebene suatu ketika mesti dibayar kembali dan bukan tidak mungkin hanya akan terbayar oleh aset itu sendiri, alias disita. Agar kita tidak terjebak pada situasi yang memalukan tersebut, lebih balk bercita-cita menjadi kaya dengan cara yang lebih cerdas, yakni memproduktifkan aset yang dimiliki. Selamat mencoba.