Umpamakan Anda tengah berjalan-jalan di suatu mal bersama handai tolan, lalu melihat ada sepatu bagus, apakah Anda langsung ingin membelinya? Atau, ketika Anda sedang dalam perjalanan, lalu mendengar iklan radio bahwa di sebuah mal tengah diselenggarakan pesta diskon besar-besaran, apakah kemudian Anda akan membelokkan kendaraan Anda dan segera menuju mal tersebut? Atau, tatkala Anda diajak teman-teman jalan-jalan ke luar negeri, sementara kondisi keuangan tidak memungkinkan, apakah Anda tetap mengikuti ajakan teman-teman tersebut, dan menggunakan kartu kredit untuk membiayai perjalanan Anda?
Apakah seperti yang dipaparkan tersebut kerap melanda diri Anda? Jika ya, Anda perlu waspada. Sebab, pengelolaan keuangan Anda pada dasarnya lebih didominasi oleh emosi. Oleh impuls yang dipengaruhi pihak eksternal, di mana Anda tidak mampu menyortir dengan logika dan kemudian emosi sesaat yang lebih berperan dalam pengambilan keputusan keuangan Anda.
Oke, sebagian dari Anda akan mengatakan bahwa hal-hal sebagaimana dipaparkan tersebut sudah tidak mampu "menjerat" diri Anda. Artinya, keputusan untuk berbelanja, jalan-jalan dan atau pola pengeluaran uang yang menyangkut konsumtif sudah bisa Anda kontrol. Bagus kalau demikian. Tapi, coba ingat-ingat lagi, pernahkah Anda didatangi kawan lama, handai tolan atau siapa pun yang "menodong" diri Anda dengan alasan minta tolong, meminta kebaikan hati Anda untuk memberi pinjaman atau bahkan memberikan uang tunai kepada pihak-pihak yang meminta tolong, meminta sumbangan atau "menodong" Anda tersebut? Boleh jadi Anda pernah mengalami dan kemudian memenuhi permintaan dimaksud dengan alasan yang sangat sederhana; kasihan atau ingin berbuat baik, atau malah sungkan dengan kalangan "peminta-minta" itu.
Itu baru menyangkut aspek pengeluaran. Bagaimana dengan lain. Masih banyak contoh. Misalnya, pernahkah Anda menerima tawaran kartu kredit, karena yang menawarkan adalah sanak famili, kenalan, atau seorang wanita muda yang cantik? Padahal di dompet Anda sudah ada beberapa kartu kredit yang malah jarang digunakan. Namun, karena alasan tersebut, Anda tetap menerima tawaran kartu kredit tadi. Ini juga tergolong emosi.
Kita lihat lagi contoh yang lebih "soft". Anda didatangi pemasar produk asuransi. Anda memang membutuhkan produk tersebut karena belum memiliki. Anda terpesona pada kecantikan dan kepiawaian pemasar dalam menjajakan produk dimaksud. Bagi pemasar, semakin besar uang pertanggungan yang Anda inginkan akan semakin bagus, karena premi akan semakin besar dan kemudian komisi yang diraih si pemasar cantik tadi akan semakin signifikan. Anda menganggap bahwa keputusan Anda mengambil produk tersebut sudah benar, karena benefitnya besar. Tapi, apakah Anda sudah mengaitkannya dengan kemampuan membayar premi Anda dan juga kebutuhan keuangan lainnya? Jika tidak, maka keputusan yang Anda ambil juga tergolong berbasis emosi. Pada gilirannya, bukan tidak mungkin Anda akan gagal membayar premi dan polis asuransi Anda menjadi bermasalah.
Kalau Anda pernah mengalami hal seperti itu, maka Anda juga tergolong orang-orang yang mengelola keuangan berdasarkan emosi. Jadi jangan menepuk dada dulu. Sebab, banyak sekali hal-hal yang sebenarnya bersifat emosional menjadi dasar dalam pengambilan keputusan terkait keuangan, namun Anda tidak menyadari bahwa hal itu merupakan emosi. Lalu bagaimana menyiasati pengelolaan keuangan yang semata-mata dilandasi oleh emosi? Solusinya hanya ada satu, tempatkan logika di atas emosi. Seperti apa konkretnya?
Seperti contoh barusan, Anda ingin beli sepatu baru ketika jalan-jalan di mal, atau ingin menghampiri mal yang tengah memberi diskon dan memborong barang-barang, atau ingin jalan-jalan keluar negeri setiap waktu, boleh-boleh saja dan silakan. Wong uang Anda, kenapa tidak boleh, ya kan. Namun, tentu saja, semua itu ada "pedoman"-nya, yakni sejak awal Anda memang sudah memasukkan pos untuk membeli sepatu baru, pos untuk membeli barang-barang diskon dan juga pos untuk jalan-jalan sewaktu-waktu. Artinya, yang Anda lakukan kemudian hanyalah soal mengeksekusi saja. Ini berbeda dengan misalnya, Anda ujung-ujung punya keinginan, tanpa memiliki dasar perencanaan. Konkretnya sepanjang sejak jauh-jauh hari Anda sudah menganggarkan pengeluaran Anda untuk hal¬hal tertentu, dan ketika Anda mengeksekusinya masih dalam budget, maka yang Anda lakukan adalah logicfinance, bukan lagi emotionfinance.
Demikian juga ketika Anda dihadapkan pada situasi di mama banyak pihak, termasuk handai tolan mengerubungi Anda dan meminta bantuan keuangan. Sepanjang Anda memang memiliki alokasi untuk itu, dan secara sadar menyiapkan anggarannya, maka ketika Anda memberi bantuan, pertolongan, itu benar-benar berdasarkan logika. Mirip dengan perusahaan-perusahaan yang memiliki program corporate social responsibility. Namun, kalau bantuan yang Anda berikan semata-mata berdasarkan betas kasihan dan kemudian kondisi keuangan Anda malah terganggu, atau paling tidak Anda menggerutu, maka Anda masih terjebak dalam lingkaran emotionfinance.
Lantas, jika Anda memang menginginkan pengelolaan keuangan Anda benar-benar berdasar logika, bagaimana implementasinya? Hal yang paling mendasar adalah dalam perencanaan keuangan tahunan ataupun bulanan, masukkan pos-pos pengeluaran Anda secara lebih detail. Jangan lupa, pengelolaan penghasilan yang sehat adalah komposisi 70:30. Artinya, untuk konsumsi Anda, termasuk belanja yang dilakukan kapan saja, hams menjadi bagian yang 70 persen. Termasuk juga pos untuk sumbangan dan lain sebagainya. Dengan kata lain, porsi 30 persen jangan diganggu gugat. Ringkasnya, jika Anda memberi bantuan kepada pihak lain, berarti Anda mesti memberikan sebagian "hak" Anda. Dan itu mesti diambil dari anggaran konsumsi.