a

Thursday, March 21, 2013

Inovasi Keuangan Keluarga


Apakah Anda termasuk keluarga muda yang baru menikah, atau paling tidak memiliki satu atau dua anak yang masih kecil? Apakah Anda dan istri/suami sama-sama bekerja dan menghasilkan pendapatan bagi keluarga? Jika ya, bagaimana cara Anda mengatur pendapatan keluarga? Jawabannya tentu saja bisa macam-macam. Kalau pertanyaan semacam itu diajukan kepada sang istri, boleh jadi sembari bercanda sang istri akan menjawab begini, "Uang suami adalah uangku juga, sedangkan uangku adalah untuk diriku saja".

Sementara itu, kalau pertanyaan serupa diajukan kepada sang suami, mungkin ia akan menjawab, "Seluruh uangku adalah untuk keluarga, sedangkan uang istriku untuk memenuhi keperluan pribadinya dan juga untuk keluarga". Salahkah jawaban seperti itu? Bergantung pada nilai-nilai yang dianut oleh setiap keluarga. Namun berdasarkan asas normatif yang berlaku, khususnya dalam konteks pengelolaan keluarga, sesungguhnya tidak ada istilah uang yang bersumber dari pendapatan suami atau istri. Ketika dua orang bersepakat membangun rumah tangga, maka penghasilan pasangan tersebut mesti disebut sebagai penghasilan keluarga.
Adalah benar, seorang lelaki yang menjadi suami, disebut sebagai kepala keluarga dan mesti bertanggung jawab terhadap kebutuhan keuangan keluarga. Tetapi di zaman modern ini, tulang punggung keluarga tidak selamanya ada di pundak suami. Banyak juga para istri yang bekerja. Bahkan di beberapa daerah, penghasilan sang istrilah yang menjadi sumber utama nafkah keluarga. Selain itu, tidak sedikit para istri yang bekerja karena sudah sejak sebelum menikah memang sudah memiliki penghasilan sendiri. Pertanyaannya kemudian, kalau istri sudah sejak lama memiliki penghasilan sendiri, maka setelah menikah dan tetap bekerja, apakah penghasilan yang diperolehnya semata-mata untuk memenuhi keperluan pribadi? Semestinya adalah tidak. Kenapa? Karena, pasangan suami istri, pada hakikatnya memiliki tujuan keuangan yang sama, yakni terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan untuk keluarga. nah, bagaimana agar paradigma yang selama ini berkembang di sebagian kalangan, sebagaimana baru saja diuraikan, bisa diubah? Kemauan dan kebesaran hati. Itu jawabannya. Bagaimana konkretnya? Begini...

Pertama, komitmen. Apa maksudnya? Ketika Anda membentuk mahligai rumah tangga, itu berarti Anda sudah siap untuk berbagi suka dan duka, termasuk berbagi penghasilan untuk keperluan rumah tangga Anda. Kenapa? Karena, jika Anda masih menggunakan ideologi individual dalam rumah tangga Anda, itu tidak ada bedanya dengan hidup sendiri. Dan sebaiknya tidak usah berumah tangga. Karena ujung-ujungnya akan bermuara pada masalah, termasuk masalah keuangan. Oleh karena itu, memiliki komitmen untuk berbagi, merupakan fondasi dalam pengelolaan keuangan keluarga. Lantas bagaimana jika selama ini, Anda dan suami/ istri sudah terlanjur menggunakan paradigma, penghasilan para pihak, merupakan hak masing-masing? Ubah paradigma tersebut. Tidak ada kata terlambat.

Kedua, menentukan tujuan keuangan secara bersama. Berapa banyak aset yang ingin dimiliki? Bagaimana menyiapkan biaya anak sekolah? Dan lain sebagainya. Setiap keluarga memiliki hak untuk menentukan tujuan keuangannya masing-masing. Namun yang menjadi kata kunci adalah bagaimana membuat prioritas dad tujuan keuangan tersebut. Siapa yang mesti mengatur dan apa yang mesti diutamakan. Cantoh sederhana adalah, kebutuhan kendaraan untuk keluarga. Bisa jadi, karena ketidaksamaan pandangan akhirnya dana keluarga habis hanya untuk membeli barang tidak produktif. Yang paling sering terjadi adalah soal mobil. Bisa jadi sang suami ingin mobilnya berjenis sedan. Agar kalau ke kantor bisa lebih bergaya. Tapi, sang istri ingin jenis kendaraan yang bisa mernuat banyak orang, karena masih ingin bepergian bersama-sama keluarga besarnya. Jika tidak ada titik temu, keluarga tersebut kemudian membeli 2 (dua) mobil yang notebene tidak produktif. Hal semacarn ini bisa mengakibatkan dana untuk pembelian mobil membengkak. Dan dapat mengganggu pencapaian tujuan keuangan keluarga. Oleh karena itu, dalam konteks tujuan keuangan ini, kedua pihak sejatinya mesti bersedia untuk mengalah dan mengutamakan aset yang bersifat produktif Sama halnya untuk aset konsumtif sebaiknya berdasarkan fungsi dan kebutuhan dasar, bukan sekadar keinginan belaka.

Ketiga, bagaimana cara mencapai tujuan keuangan keluarga? Setiap tujuan keuangan bisa dicapai dengan menyisihkan penghasilan ke dalam tabungan, dan setelah mencukupi maka tabungan tersebut dipergunakan untuk memenuhi tujuan keuangan itu tadi. Atau, lebih modern lagi, penghasilan yang disisihkan tersebut dialokasikan untuk berinvestasi, sehingga jumlahnya terus bertambah, sampai suatu ketika, jumlah tersebut bisa memenuhi kebutuhan tujuan keuangan keluarga, apa pun tujuan tersebut. Tapi, bagaimana jika tujuan keuangan tersebut, misalnya memiliki rumah atau apartemen ingin diperoleh saat ini? Apakah tidak bisa? Bisa, beli rumah atau apartemen dengan cara berutang. Selanjutnya utang tersebut dicicil dan diangsur dari penghasilan bulanan suami dan istri. Intinya, suami dan istri mesti memiliki kesepakatan, jika hendak mencapai tujuan dengan cara berutang, maka tanggung jawab ada di kedua pihak. Bukan hanya pada suami atau istri yang kebetulan menandatangani perjanjian utang dengan bank. Konsekuensi yang lain, dari seluruh penghasilan keluarga, setiap bulannya harus disisihkan secara konsisten dana untuk mengangsur pembayaran utang. Itu berarti keinginan untuk membelanjakan dana bagi keperluan lain mesti dikurangi. Dengan kata lain, jika tidak mampu disiplin menyisihkan penghasilan untuk membayar utang kredit rumah, maka rumah itu sendiri bisa hilang dan tujuan keuangan yang hendak dicapai dengan berutang akan pupus.

Keempat, mengalokasikan pendapatan suami dan istri untuk peruntukan yang jelas, termasuk investasi dan juga pengeluaran biaya kebutuhan sehari-hari. Caranya? Penghasilan kedua pihak dimasukkan dalam sebuah rekening tabungan. Dan itulah yang disebut dengan penghasilan keluarga. Lalu, dari seluruh penghasilan tersebut dipilah untuk kebutuhan sehari-hari atau konsumsi dan juga investasi. Di sini, yang terpenting adalah keterbukaan kedua belah pihak. Setiap bulan, suami dan istri bersarna-sama mereview kondisi keuangannya. Begitu seterusnya. Selamat mencoba.

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...