Ketika Anda hendak membuat suatu keputusan finansial, misalnya membeli rumah, membeli mobil, berinvestasi dalam saham, dan lain sebagainya, lazimnya ada berbagai pertimbangan yang mendasari. Tapi, coba ingat-ingat kembali, berapa persen keputusan yang Anda buat itu didasarkan atas pertimbangan rasional ketimbang pertimbangan emosional? Apa maksudnya? Sederhana saja. Tatkala Anda hendak membeli rumah, misalnya, banyak kalangan memilih rumah karena lokasinya dekat dengan kantor. Atau rumah yang di sekelilingnya banyak pepohonan atau lokasi rumah yang berdekatan dengan keluarga atau teman-teman. Pendeknya, ada berbagai latar dari keputusan Anda membeli sebuah rumah di suatu lokasi.
Selain itu, tentu saja ada pertimbangan mengenai harga dari rumah itu sendiri. Pertanyaannya, berapa persen pertimbangan harga dibandingkan pertimbangan lain, yang mendorong Anda untuk membeli sebuah rumah? Yang bisa menjawab tentu saja hanya diri Anda. Namun, coba jujur, pernahkah Anda membeli suatu barang termasuk rumah sebenarnya lebih didominasi oleh pertimbangan emosional. Artinya, tidak peduli berapa pun harga rumah tersebut, tetap Anda beli, karena Anda menyukainya. Dan boleh jadi, Anda membayar terlalu mahal untuk membeli fungsi dari sebuah barang. Itulah yang disebut dengan keputusan finansial, yang tidak berbasis argumentasi finansial. Nah, agar Anda tidak terjebak dalam pengambilan keputusan seperti itu, ada baiknya direnungkan kembali, bagaimana baiknya pembuatan keputusan finansial itu dilakukan.
Pertama, sebagaimana konsep pengelolaan keuangan, setiap tindakan keuangan pasti memiliki tujuan. Oleh karena itu, ketika Anda hendak membuat keputusan keuangan, pastikan dulu tujuan dari keputusan dimaksud. Membeli rumah misalnya, apa tujuannya? Untuk tempat tinggal yang baru karena rumah yang Anda tempati saat ini sudah terlalu kecil dan atau kurang nyaman lagi? Atau Anda hendak membeli rumah sebagai alat investasi. Apa pun alasannya terserah Anda. Yang harus dipahami adalah, perbedaan tujuan keuangan tersebut mestinya akan melahirkan keputusan keuangan yang berbeda. Dengan kata lain, keputusan keuangan untuk membeli suatu barang yang bersifat konsumtif, akan sangat berbeda dengan keputusan keuangan yang tujuannya bersifat produktif. Dan Anda mesti memahami benar konsekuensi dari keputusan tersebut.
Kedua, menentukan berapa budget yang disediakan untuk suatu keputusan keuangan. Ini menjadi faktor penting, sebab banyak kalangan membeli suatu barang tanpa perencanaan yang jelas tentang biaya yang dialokasikan. tidak heran, jika membeli suatu barang konsumtif menggunakan kartu kredit misalnya, maka setiap bulan, tagihan akan membengkak. Atau kalau membeli rumah, penyesalan akan datang belakangan, karena realitas yang diperoleh berbeda dengan harapan. Contoh lain yang kerap terjadi adalah ketika membeli barang " branded' , dengan alasan ingin menaikkan status sosial di hadapan teman-teman. Anda sebenarnya merasa "tidak kuat" mengeluarkan dana sedemikian besar untuk membeli barang dimaksud, tetapi, memaksakan diri membeli agar kelihatan "hebat" atau "bergaya". Apa yang terjadi kemudian adalah penyesalan, karena teman-ternan Anda juga mampu membeli barang yang sama, atau malah lebih mahal ketimbang barang yang sudah Anda beli. Atau penyesalan muncul, karena Anda akan mengalami masalah keuangan karena dana sudah tergerus untuk membeli barang "branded' tersebut. Konkretnya, membeli suatu barang "branded' dengan maksud meningkatkan gengsi, bukanlah keputusan finansial. Itu lebih merupakan keputusan emosional yang hanya menimbulkan masalah di kemudian hari.
Ketiga, aspek purnajual dari sebuah barang yang dibeli. Keputusan finansial yang tidak mempertimbangkan aspek purnajual dari suatu barang akan menimbulkan penyesalan. Sudah sering diulas dalam pembahasan terdahulu, bahwa perilaku finansial yang benar adalah ketika aset yang dimiliki lebih bersifat produktif ketimbang konsumtif Dus, demikian juga halnya dengan pembelian suatu barang. Jika barang tersebut sudah tidak memiliki nilai produktif, termasuk ketika dijual kembali, maka barang tersebut tergolong biaya semata. Dengan kata lain, barang apa pun yang dibeli, sebaiknya masih memiliki nilai kalau hendak dijual kembali. Hal seperti ini berlaku buat seluruh barang-barang yang Anda beli dan miliki. Contoh konkret mengenai hal ini bisa dilihat di negara-negara maju. Di negara-negara tersebut biasanya ada pasar di akhir pekan, di mana masyarakat bisa menjual barang-barang yang dimilikinya. Walaupun di Indonesia, pasar semacam itu belum lazim, namun tidak ada salahnya, tetap Anda pertimbangkan, jika membeli suatu barang, maka barang tersebut bisa dijual kembali pada suatu ketika dengan harga yang memadai.
Keempat, dampak keputusan terhadap kondisi keuangan secara menyeluruh. Setiap keputusan finansial yang diambil pada dasarnya pasti akan memberikan dampak, baik itu yang bersifat positif ataupun negatif Kerap kali kita lupa bahwa suatu keputusan tidak berdiri sendiri. Ketika Anda membeli rumah secara kredit, misalnya, akan berpengaruh terhadap perilaku keuangan Anda dalam mengelola pengeluaran pada masa berikutnya, karena sebagian penghasilan akan dipakai untuk mencicil angsuran kredit. Pernahkah Anda bayangkan pengaruhnya terhadap rencana pengeluaran Anda yang lain? Artinya, bisa saja Anda mesti menghentikan salah satu pengeluaran Anda, agar cash flow tidak defisit. Nah, setiap keputusan keuangan, sebaiknya dianalisis pengaruhnya terhadap pengeluaran secara menyeluruh.
Kelima, argumentasi rasional harus lebih tinggi dibandingkan alasan emosional. Dalam istilah yang lebih lazim, bisa membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Semua pembelian yang hanya berdasarkan keinginan umumnya adalah berdasarkan emosional. Sedangkan pembelian yang berbasis kebutuhan, juga tidak selalu rasional. Kok bisa? Ya, termasuk dalam hal ini adalah pertimbangan harga, aspek purnajual dan lain sebagainya. Kendati keputusan finansial Anda sudah diyakini semata¬mata untuk memenuhi kebutuhan, belum tentu memenuhi kriteria logika rasional. Oleh karena itu, cek sekali lagi, berapa persen aspek emosional terkandung di dalamnya.
Selain hal-hal yang diutarakan tadi tentu masih banyak lagi faktor¬faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum membuat suatu keputusan finansial. Untuk memudahkan Anda dalam membuat keputusan dimaksud, tidak ada salahnya semua alasan dicatat dan dimasukkan dalam list pertimbangan. Dengan list tersebut Anda bisa menimbang-nimbang apakah keputusan yang akan Anda perbuat dapat dipertanggungjawabkan secara logika, atau sekadar berbasis emosional belaka. Yang jelas, keputusan berdasar emosional biasanya akan lebih costly ketimbang keputusan berdasar rasional. Pilihan ada di tangan Anda.