Tidak bisa dipungkiri, dalam beberapa bulan belakangan cukup banyak kalangan yang menjadi lebih miskin ketimbang sebelumnya. Nilai aset mereka turun drastis. Kenapa begitu? Karena mereka melakukan investasi di pasar modal dan nilai saham yang dimilikinya anjlok puluhan persen. Dengan kata lain, kekayaan mereka juga tergerus puluhan persen. Tetapi, di sisi lain, dalam beberapa pekan belakangan, cukup banyak juga kalangan yang tiba-tiba bertambah kaya. Kok bisa? Mereka membeli saham-saham yang sudah berharga murah dan beberapa saat kemudian, menjualnya kembali, ketika saham-saham tersebut mengalami kenaikan harga. Kalangan ini melakukan profit taking dan meraup keuntungan yang nilainya juga mencapai puluhan persen.
Lantas apa makna fenomena tersebut? Sederhana saja. Adalah tidak benar, jika kondisi saat ini yang diistilahkan sebagai krisis keuangan global, menjadikan semua orang terpuruk. Dalam realitasnya, tetap saja ada kalangan yang memang tambah miskin, tetapi di sisi lain ada pula yang tambah kaya. Artinya, dalam kondisi krisis ataupun ekonomi booming, sebenarnya tetap saja memberikan kesempatan untuk melakukan investasi dan memperoleh keuntungan. Kalau tidak percaya, coba saja cermati harga-harga saham yang diperdagangkan di bursa efek. Tatkala Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melorot ke bawah, apakah semua saham juga mengalami kemerosotan harga? Tidak juga. Atau ketika harga IHSG mulai meningkat kembali, apakah semua harga saham juga ikut terkerek. Tidak selalu begitu. Dalam realitasnya, tetap saja ada saham-saham yang harganya naik dan turun, pergerakannya berbanding terbalik dengan pergerakan IHSG.
Fenomena yang sama juga terjadi di sektor riil. Apakah dengan situasi seperti sekarang, semua sektor akan mengalami penurunan kinerja? Apakah semua jenis bisnis akan mengalami masalah. Bohong, jika ada yang mengatakan krisis telah menghantam semua sektor. Kalau berpengaruh terhadap sebagian sektor, itu benar. Tapi tidak semuanya. Bahkan ada sektor-sektor yang malah semakin berkembang. Bagaimana logikanya?
Untuk sektor-sektor yang mengalami penurunan kinerja, bisa dengan mudah dipahami. Krisis telah menurunkan daya beli. Permintaan terhadap produk mengalami penurunan. Dampak berikutnya, keuntungan perusahaan juga berkurang. Bahkan bisa saja, pada fase berikutnya, tingkat produksi juga akan anjlok. Lebih jauh lagi, kemampuan perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan ataupun membayar gaji karyawannya menjadi rendah.
Tetapi, krisis keuangan global saat ini, di sisi lain, juga memberikan dampak yang berbeda bagi beberapa sektor. Misalnya, tiba-tiba banyak kalangan merasa terganggu kesehatannya karena stres. Lalu permintaan terhadap obat stres meningkat. Berarti industri farmasi akan meningkat. Atau orang-orang butuh pengetahuan mengenai krisis ekonomi dan dampaknya. Lantas seminar-seminar tentang krisis tiba-tiba bermunculan. Peminatnya juga sangat banyak. Ringkasnya, dalam setiap kondisi, pasti akan memunculkan persoalan, tetapi juga memunculkan peluang. Itu intinya.
Lantas bagaimana dengan investasi? Pada dasarnya, investasi bisa dilakukan kapan saja, dalam situasi apa saja dan oleh siapa saja. Yang penting, investasi tersebut dilakukan sebagai implementasi strategi mencapai tujuan keuangan. Jadi ada horizon investasinya. Lihat saja, kondisi pasar modal saat ini. Sebagian besar saham yang mengalami kejatuhan harga sebenarnya adalah saham-saham yang emitennya masih memiliki kinerja fundamental yang bagus. Bahkan ada saham yang harganya sudah setengah nilai bukunya. Harga perusahaan dimaksud sudah turun separuh dari nilai yang sebenarnya. Ini tidak masuk akal. Dengan kata lain, harga saham-saham dimaksud memiliki peluang besar untuk kembali meningkat. Tinggal masalahnya kapan harganya akan meningkat kembali? Dalam konteks inilah, kita sebaiknya memahami perbedaan makna investasi dengan spekulasi.
Apa maksudnya? Coba lihat lagi apa yang dipaparkan di bagian atas tulisan ini. Di pasar saham, meskipun kondisi krisis, tetap saja ada kalangan yang bertambah kaya, karena keberaniannya membeli saham pada saat harga rendah dan langsung menjualnya tatkala harga mengalami peningkatan. Investor seperti ini melakukan "trading' dalam rangka profit taking. Apakah ini salah? Tidak juga, namun perilaku seperti ini lebih bersifat spekulatif ketimbang investasi yang benar. Ya spekulatif. Bagaimana kalau tiba-tiba saham yang sudah murah itu, tiba-tiba semakin turun harganya? Yang diperoleh jelas bukan untung, tetapi buntung. Dus, agar Anda tidak termasuk kalangan yang merugi seperti itu, ada baiknya dicermati kembali makna investasi dikaitkan dengan situasi krisis seperti sekarang. Bagaimana konkretnya? Begini.
Pertama, pahami krisis bukan sebagai awal kehancuran, melainkan suatu kondisi menuju equilibrium baru yang memberikan peluang baru. Dan ini berarti, setiap pelaku investasi mesti menentukan tujuan keuangan baru dengan pola yang juga baru, termasuk time horizon investasi baru. Kedua, lupakan keinginan untuk meraup keuntungan dalam jangka pendek, karena hal itu lebih bersifat spekulatif. Dalam konteks pasar modal saat ini, misalnya. Kendati ada saham-saham yang mungkin akan memberikan keuntungan dalam jangka pendek, namun akan lebih bijak, jika Anda membeli saham tersebut dalam perspektif jangka panjang. Sebab, sudah pasti naiknya. Logikanya sangat sederhana. Penyebab kejatuhan harga saham adalah karena investor asing yang pulang kembali ke kampung halamannya. Suatu ketika investor asing itu pasti akan berkelana lagi ke bursa efek Indonesia. Artinya, mereka akan kembali melakukan aksi beli. Dan ini akan mendorong harga saham ke titik semula. Singkatnya, sepanjang saham yang dibeli memiliki fundamental bagus dan dimaksudkan sebagai investasi itu untuk jangka panjang, peluang meraih keuntungan akan lebih besar.
by: Elvyn G. Masassya