Krisis keuangan global. Itulah yang dibicarakan, didiskusikan dan menjadi head line semua media massa akhir-akhir ini. Kenapa dibicarakan? Karena krisis keuangan yang dipicu oleh kejatuhan subprime mortgage tersebut telah menjadi epidemi di seluruh penjuru dunia. Seperti penyakit menular yang bisa mengundang kematian. Pertanyaannya, apakah benar krisis tersebut memang sedemikian parah dan bisa menghancurkan perekonomian? Jawabannya adalah ya, jika kita menganggap remeh krisis. Tetapi, krisis bukan pula gong kematian, sepanjang disikapi secara bijak dan Kati-hati. Sebab, krisis hakikatnya bisa dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, awal sebuah kehancuran. Kedua, titik batik untuk menjadi lebih baik.
Lalu mana yang benar? Bergantung pada pandangan setiap orang. Kalangan penganut paham pertama, akan panik dan mengambil action yang tergesa-gesa. Contoh konkretnya, ketika harga saham jatuh ke bawah, mereka melakukan cut loss. Mencoba menyelamatkan sisa-sisa kekayaannya. Tetapi bagi kalangan lain, kejatuhan harga saham, mendorong mereka untuk masuk ke pasar dan membeli saham-saham yang telah menjadi sangat murah harganya. Kalangan ini berharap, pasar modal akan kembali membaik, harga saham meroket, dan keuntungan besar akan diraih.
Oleh karena itu, krisis pasti akan memberikan hikmah. Seperti apa? Coba kita telusuri dulu apa sesungguhnya inti penyakit yang kemudian berkembang menjadi krisis keuangan akhir-akhir ini. Awalnya adalah apa yang disebut dengan "American Dream". Ini adalah jargon yang sangat populer di Amerika Serikat, yang diterjemahkan sebagai suatu kondisi di mana setiap warga Amerika Serikat bisa memiliki rumah dengan halaman luas.
Adakah yang salah dengan jargon ini? Jelas tidak. Semua orang boleh memiliki mimpi. Yang masalah adalah bagaimana mimpi tersebut diraih. Dan itulah yang kemudian terjadi, untuk mencapai mimpi tersebut. The Fed alias Bank Sentral Amerika pada tahun 2000-an menurunkan tingkat bunga, bahkan ke titik 1%. Dampaknya, kredit menjadi sangat murah. Semua orang berlomba-lomba mendapatkan kredit, termasuk kredit untuk kepemilikan rumah (mortgage).
Sampai di sini sebenarnya belum ada masalah. Persoalan baru muncul ketika proses pemberian kredit tersebut tidak dilandasi oleh kehati-hatian dan bahkan terkesan sangat sembrono. Misalnya, dokumen para pemohon sudah mulai tidak lengkap. Tapi kredit tetap diproses. Lalu, permintaan kredit untuk membeli rumah bukan lagi semata-mata untuk dimiliki, melainkan sudah menjurus kepada spekulasi. Dengan kondisi seperti ini, kualitas kredit menjadi tidak terlalu baik.
Apakah persoalan berhenti sampai di sini? Jelas tidak. Tatkala permintaan kredit membludak, maka lembaga pemberi kredit yang disebut dengan originator mencoba mencari tambahan dana. Caranya, lembaga tersebut melakukan sekuritisasi terhadap kredit kepemilikan rumah yang telah disalurkan. Konkretnya, lembaga pemberi kredit mencari pinjaman dengan jaminan rumah-rumah yang dibiayainya. Dengan cara ini, jumlah kredit baru yang diberikan pun bisa berlipat ganda.
Selanjutnya, lembaga yang membeli surat berharga tersebut, yakni para investment banker, membuat sebuah produk investasi yang berbasis surat berharga yang asal mulanya dari kredit kepemilikan rumah. Dengan kata lain, telah terjadi pelipatgandaan aset keuangan, namun basisnya adalah rumah-rumah yang dibiayai oleh para kreditor. Siapa yang menjadi nasabah para investment banker tersebut? Lembaga dana pensiun, lembaga asuransi, dan lain sebagainya.
Untuk sementara waktu, pola pelipatgandaan aset semacam ini berjalan dengan tenang. Semua pihak menikmati keuntungan. Sampai suatu ketika, harga minyak melonjak, inflasi tinggi, suku bunga mulai meroket, daya bell dan kemampuan masyarakat Amerika Serikat anjlok. Dampaknya, mereka tidak bisa lagi membayar cicilan kredit rumah. Lembaga pembiayaan kredit mengalami masalah. Mereka juga tidak mampu membayar kewajibannya kepada para penyandang dana, yang dalam hal ini adalah investment bank. Berikutnya, investment bank juga gagal memenuhi kewajibannya terhadap para investor besar maupun kecil, termasuk dana pensiun, asuransi, dan sebagainya.
Di sisi lain, para investment bank yang sebelumnya telah mendapatkan dana dari asuransi dan para investor, telah "memutar" dana tersebut dengan membeli berbagai surat berharga di seluruh pasar saham dunia, termasuk di Indonesia. Dan ketika "penyakit" gagal bayar melanda para investment bank, mereka kemudian menarik semua investasinya di berbagai pasar. Itulah sebabnya kenapa harga saham anjlok. Lebih dari itu, setelah menjual sahamnya, mereka kemudian menukar rupiah dengan US dolar dan membawanya kembali ke negara asal untuk menutupi kewajibannya di sana. Itu pula sebabnya, kenapa nilai tukar rupiah terpuruk.
Dengan alur kisah seperti itu, hikmah apa yang bisa dipetik? Pertama, krisis terjadi karena hilangnya aspek kehati-hatian dalam proses investasi. Kedua, krisis terjadi karena adanya unsur "moral hazard' di dalamnya. Ketiga, krisis terjadi karena adanya nuansa "greedy" dalam diri para pelaku ekonomi. Tidak percaya? jika Anda saat ini termasuk kalangan yang mengalami potensial loss di pasar modal, coba renungkan kembali apakah Anda terlanjur "melaksanakan" salah satu dari tiga kekeliruan tersebut? Kalau Anda jujur, jawabannya pasti ya.
Mungkin Anda akan bertanya, lantas apa selanjutnya? Sederhana saja. Krisis keuangan yang terjadi saat ini, termasuk munculnya permasalahan dalam investasi Anda, selayaknya disikapi sebagai suatu koreksi terhadap apa yang telah dilakukan. Misalnya, jangan pernah berinvestasi jika tujuannya hanya untuk spekulasi. Jangan pernah berinvestasi dengan harapan memperoleh return yang besar, jika Anda tidak memiliki risk profile yang "tahan banting". Jangan pernah berinvestasi jika Anda tidak memahami karakteristik investasi yang dilakukan. Jangan pernah berinvestasi jika hanya didasarkan atas bujuk rayu para agen investasi. Dan ada seribu "jangan" lainnya, tapi intinya, krisis adalah suatu "pertanda", bahwa banyak hal yang mesti diperbaiki dalam perilaku kita, termasuk perilaku berinvestasi. Inilah yang dimaksud sebagai hikmah, sebagai "titik batik" ke arah yang lebih baik.
by: Elvyn G. Masassya