Masih ingat peristiwa yang terjadi pada sebuah bank swasta, yang beberapa waktu lalu ramai diberitakan oleh media massa? Fenomena yang menimpa bank tersebut, ditengarai sarat berbagai kepentingan. Mulai dari kepentingan baik, hingga kepentingan yang kurang jelas. Namun, lepas dari itu, toh tidak ada salahnya kita cermati apa sesungguhnya yang terjadi di sana. Khususnya, apa yang menimpa sebagian masyarakat pengguna bank tersebut, sehingga dananya tidak bisa kembali.
Awalnya adalah sekadar mengharapkan tingkat bunga tinggi dari deposito berjangka. Sehingga, ketika bank tersebut menawarkan bunga yang cukup menarik dibanding kompetitor, maka para nasabah pun berdatangan. Kenapa? Karena hakikatnya, di bank maupun sepanjang deposito yang ditempatkan tidak lebih dari Rp2 miliar, maka dana deposan akan aman. Kalaupun suatu ketika bank tersebut "terkapar", tidak akan ada pengaruhnya terhadap dana yang disimpan di sana, sepanjang sesuai kriteria. Dus, menempatkan dana di bank, sebenarnya merupakan pilihan investasi yang paling minim risikonya.
terus kenapa terjadi masalah? Dalam praktiknya, sebagian bank kemudian mencoba mendiversifikasikan bisnisnya dengan menjadi pemasar produk capital market. Bisa dalam bentuk reksadana atau malah struktur produk. Produk tersebut kemudian ditawarkan kepada para deposan. Deposan tertarik? Sebagian ya. Kenapa? Karena deposan dijanjikan imbal hasil yang lebih tinggi. Apakah keliru? Jelas tidak. Reksadana saham, misalnya, bisa saja memberikan imbal basil jauh di atas deposito berjangka, jika pengelolaannya dilakukan secara benar. Ma¬salahnya, dalam memasarkan produk tersebut, pihak bank belum tentu menjelaskan, bahwa reksadana dimaksud bukanlah produk bank. Bukan produk keuangan yang dijamin pemerintah. Dan tidak pula termasuk dalam portofolio bank. Lebih dari itu, produk tersebut memiliki risiko. Dan risiko bukan urusan bank. Karena bank hanya sebagai agen pemasar. Bank akan mendapatkanfee dari penjualan produk tersebut.
Di sisi lain, karena pengetahuan tentang produk keuangan yang relatif minim, dan atau tergiur iming-iming imbal hasil yang besar, ditambahi pula oleh kondisi yang menawarkan produk tersebut adalah bank, maka banyak deposan tergiur. Lebih jauh lagi, mungkin saja di dalam perjanjian pembelian produk tersebut sebenarnya sudah dicantumkan bahwa produk dimaksud bukan milik bank. Bank hanya sebagai agen penjual dan risiko sepenuhnya ditanggung pemilik dana. Tetapi, karena sudah telanjur tergiur dengan imbal hasil yang besar, isi perjanjian tidak dicermati secara teliti. Para pemilik dana yang notebene deposan, langsung saja membubuhkan tanda tangan. Selanjutnya, deposito berubah bentuk menjadi reksadana atau produk sejenis.
Malapetaka pun tiba ketika bank tersebut mengalami masalah. Benar, pemerintah melakukan bail out. Tapi yang di-bail out hanyalah dana para nasabah yang tercatat dalam buku bank. Sedangkan para pemegang reksadana, bukanlah deposan. Tidak tercatat di buku bank. Masalahnya, sebagian dari pemegang produk reksadana tersebut, boleh jadi sebelumnya adalah deposan di bank yang sama. Dan kemudian deposito tersebut dikonversi menjadi reksadana, tanpa memahami konsekuensinya. Jika, putih, maka risiko merupakan tanggungan deposan. Namun menjadi lain ceritanya, jika deposan tidak tahu-menahu dengan perpindahan dananya menjadi reksadana. Jika seperti ini adanya, jelas, oknum banklah yang sangat mungkin mencurangi si deposan.
Apa yang bisa dipetik dari fenomena di atas? Banyak. Paling tidak ada 2 (dua) pelajaran penting. Pertama, Jangan mudah tergiur dengan iming¬iming imbal hasil besar. Tidak peduli iming-iming itu diberikan oleh pihak bank. Sebab, semakin tinggi potensi imbal hasil, maka semakin besarlah risiko yang melekat di dalamnya. Dalam kisah tersebut, semestinya pihak bank menjelaskan secara transparan kepada calon investor segala risiko yang melekat. Jika pihak bank tidak menjelaskan dengan berbagai alasan maka calon investor mesti bertanya seluas-luasnya. Ringkasnya, jangan pernah berkata "ya" kepada penjual produk keuangan, sebelum Anda memahami segala potensi keuntungan dan risiko yang melekat pada sebuah produk.
Kedua, jangan pernah tidak serius ketika melakukan perjanjian terkait investasi. Anda tentu pernah melihat isi perjanjian kartu kredit atau perjanjian-perjanjian lainnya yang berhubungan dengan kegiatan keuangan. Pernahkah Anda secara detail? Mungkin saja tidak. Dengan mudahnya Anda, membubuhkan tanda tangan, padahal mungkin ada masalah yang memberatkan Anda. Dengan alasan tulisannya kecil-kecil, atau tidak paham, maka Anda menjadi tidak peduli. Pahamilah bahwa ketidakpedulian Anda terhadap isi perjanjian merupakan awal dari terjadinya penderitaan di kemudian hari jika terjadi "apa-apa" dengan produk investasi Anda. Dan akhirnya, investasi tersebut menjadi beban.
Lantas, bagaimana agar investasi tidak menjadi beban, namun benar-benar sebagai tindakan positif yang membantu Anda mencapai tujuan keuangan? Ada beberapa tip. Pertama, investasi mesti dilakukan dengan perencanaan yang matang dalam rangka mencapai tujuan keuangan. Investasi jangan dilakukan jika hanya berdasarkan tawaran agen penjual produk. Bagi mereka yang penting produk bisa dijual sebanyak-banyaknya. Mau untung atau rugi bukan urusan agen penjual. Oleh karena itu, kalaupun Anda tertarik, cermati apakah produk yang hendak Anda beli karena tawaran tersebut sesuai atau tidak dengan tujuan keuangan Anda. Jangan hanya melihat iming-iming saja. Investasi tidak mengenal istilah "sak deg sak nyet" . Kedua, investasi memiliki perikatan kontrak antara pemilik dana dan pihak yang menginvestasikannya. Jangan pernah menganggap remeh isi perjanjian. Jika Anda tidak paham, jangan beli produk tersebut, sampai Anda paham. Minta bantuan ahli hukum untuk menjelaskan konsekuensi isi perjanjian dimaksud.
Ketiga, tingkatkan pengetahuan tentang produk investasi. Benar, bahwa saat ini di bank atau lembaga keuangan apa pun memiliki tenaga penjual yang bisa memberi tabu Anda tentang suatu produk. Tetapi jangan lupa, bahwa pihak penjual bukan berada di pihak Anda. Jangan beranggapan pihak penjual adalah Sinterklas atau pekerja sosial. Kepentingannya berbeda. Oleh karena itu, sedikit banyak, Anda secara pribadi mesti memiliki pengetahuan dasar. Agar bisa berargumentasi dengan pihak penjual. Dan untuk memahami produk investasi, juga tidak mesti mengantongi gelar master atau menempuh pendidikan bertahun¬tahun. Toh, Anda bisa belajar secara mandiri melalui berbagai buku atau bertanya pada ahlinya.
Simpulannya, investasi merupakan perpaduan dari skill knowledge, dan art. Termasuk "nyali" yang mesti sesuai dengan karakteristik pribadi. Kegagalan atau keberhasilan, beban atau kesenangan, bergantung pada Anda sendiri dalam menentukan keputusan yang Anda buat. Kasus pada sebuah tersebut merupakan peristiwa mahal yang mestinya bisa menjadi guru untuk bekal berinvestasi ke depan.