Yang namanya kecelakaan jelas tidak menyenangkan. Dan tak seorang pun menginginkannya. Namun kecelakaan toh bisa menimpa siapa saja. Sebab, kecelakaan tidak semata-mata menyangkut aktivitas fisik, tetapi juga bisa terkait dengan aktivitas pemikiran dan juga keuangan. Aneh? Sama sekali tidak. Coba cermati hari-hari dalam kehidupan Anda. Pernahkah Anda merasa keliru dalam mengambil keputusan? Jika ya, berarti Anda telah mengalami kecelakaan pemikiran. Demikian pula halnya dengan aktivitas yang menyangkut keuangan. Besar sekali kemungkinan terjadinya kecelakaan. Hal yang lebih mengerikan, kalau tidak menyadari bahwa kecelakaan sudah terjadi. Anda mengalami cedera keuangan, namun tidak pernah merasakannya. Ini sangat berbahaya, karena kecelakaan seperti itu sulit untuk "disembuhkan".
Kecelakaan keuangan yang paling banyak dialami orang adalah ketika penghasilan dirasakan tidak pernah cukup untuk membiayai pengeluaran. Selalu merasa kurang. Kendati, jika mau mengurangi konsumsi, penghasilan yang diperoleh masih mampu untuk membiayai hidup. Tragisnya, ketidak mampuan mengekang diri mengakibatkan konsumsi jalan terus. Dan pembiayaannya dilakukan dengan menggunakan kartu kredit. Alhasil, pengeluaran menjadi lebih besar ketimbang penghasilan. Dan inilah awal dari kecelakaan financial yang akan berlanjut dengan kecelakaan-kecelakaan lain.
Contoh konkretnya, penggunaan kartu kredit akan semakin meningkat, sementara penghasilan relatif tetap. Hal yang terjadi kemudian bukan lagi sekadar "gali lubang tutup lubang", melainkan terperangkap di "lubang" utang yang semakin dalam. Lalu kehidupan pun menjadi tidak tenang. Selalu dikejar-kejar debt collector atau stres berkepanjangan, karena masih banyak keinginan yang belum terpenuhi. Dan bukan tidak mungkin, karena permasalahan semakin kompleks, pekerjaan pun bisa hilang.
Itu baru kecelakaan finansial yang diakibatkan oleh ketidakmampuan "menginjak rem" konsumsi. Ada lagi kecelakaan finansial lainnya yang juga menerpa jutaan orang. Apa misalnya? Ketidakmampuan menyediakan dana untuk membiayai sekolah anak. Karena dana untuk anak sekolah tidak disiapkan, maka sang anak bisa-bisa tidak sekolah. Atau, kalaupun bersekolah akhirnya hanya bisa di sekolah yang kurang berkualitas. Atau sebenarnya, dana untuk anak sekolah sudah tersedia. Namun karena dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, maka anak dipaksakan untuk masuk ke sekolah yang supermahal. Dus, demi menjaga gengsi, maka berutang untuk membiayai sekolah anak terpaksa dilakukan.
Kecelakaan finansial bukan hanya dialami oleh orang-orang yang berusia produktif. Namun tidak sedikit kecelakaan yang menerpa kalangan yang mestinya sudah dalam usia mapan. Bagaimana contohnya? Begini. Seorang karyawan yang sudah terbiasa diberikan fasilitas oleh perusahaan, seperti kendaraan dan bahkan rumah dinas, kerap kali lalai untuk membeli rumah sendiri. Dan ketika usia pensiun tiba, yang bersangkutan akan mengalami masalah besar, karena tidak memiliki rumah dan ataupun kendaraan. Sebab, sepanjang kariernya sudah terbiasa menggunakan fasilitas perusahaan. Alhasil, masa pensiun yang seharusnya adalah masa menikmati, tinggal angan-angan. Kenapa? Karena meski usia sudah tua terpaksa harus tetap bekerja untuk memperoleh uang agar bisa membeli rumah dan kendaraan.
Selain itu, tentu masih banyak fakta di sekitar kita yang memperlihatkan banyaknya kecelakaan finansial. Nah, lantas agar kecelakaan-kecelakaan semacam itu tidak menghampiri diri Anda, apa yang mesti dilakukan?
Pertama, jangan pernah berutang, kalau tujuannya hanya untuk membiayai nafsu konsumtif. Utang hanya layak dilakukan, kalau peruntukannya adalah untuk kegiatan produktif yang bisa memberikan penghasilan. Utang untuk hal konsumtif, seperti kredit rumah dan kredit kendaraan, dapat dipertimbangkan jika angsurannya masih terpenuhi dari penghasilan bulanan. Penggunaan kartu kredit sekalipun, bukanlah untuk berutang, melainkan hanya untuk kemudahan transaksi pembayaran. Jadi, bukan karena tidak memiliki uang. Tetapi, lebih karena faktor kepraktisan belaka.
Kedua, melakukan investasi dan proteksi secara bersamaan. Banyak kalangan beranggapan, bahwa kalau sudah berinvestasi, maka persoalan selesai. Realitasnya tidaklah seperti itu. Dalam berinvestasi pun sangat banyak kemungkinan terjadinya kecelakaan finansial. Itulah sebabnya ada istilah "jangan tempatkan investasi dalam satu keranjang". Prinsipnya sederhana, kalau seluruh investasi Anda dalam bentuk saham, misalnya, maka ketika pasar saham anjlok, bukan tidak mungkin seluruh investasi Anda akan menguap. Oleh karena itu, investasi mesti diproteksi. Bagaimana caranya? Sebarkan investasi pada berbagai jenis, mulai dari yang berisiko rendah, sedang, dan tinggi. Dengan cara ini, sebenarnya secara otomatis, investasi Anda sudah terproteksi. Konkretnya, kalau investasi Anda yang berisiko tinggi mengalami masalah, maka Anda masih memiliki "cadangan" investasi di jenis yang berisiko rendah.
Itu adalah proteksi dalam konteks investasi. Di luar itu, proteksi untuk mencegah dampak negatif dari kecelakaan finansial, bisa juga dilakukan dengan membeli produk asuransi. Sebagaimana contoh di atas, kerap kali orang mengalami masalah dalam memenuhi biaya anak. Nah, salah satu cara mudah menghindari kecelakaan finansial yang terkait dengan biaya sekolah anak, adalah dengan membeli polis asuransi pendidikan. Selain itu, berbagai produk asuransi lainnya, termasuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, asuransi kematian, dan asuransi-asuransi lainnya, merupakan "jurus" mengatasi risiko kecelakaan finansial.
Dari paparan tersebut, sebenarnya cukup banyak cara menghindari terjadinya kecelakaan finansial. Seperti kalau mengendarai kendaraan bermotor, sebelum dikendarai, tentu sebaiknya dilakukan pengecekan, apakah segala sesuatu masih berfungsi dengan baik atau tidak. Begitu juga dengan kegiatan terkait finansial. Sebelum Anda melakukan berbagai tindakan, tentunya mesti dipikirkan risiko dan kemungkinan terjadinya kecelakaan. Dus, harus ada upaya mencegahnya. Selamat mencoba menghindari kecelakaan finansial.