a

Wednesday, March 27, 2013

Membeli Saham IPO


Anda tentu pernah mendengar istilah IPO (Initial Public Offering). Apa itu? Sederhananya, IPO adalah menjual sebagian kepemilikan saham kepada publik melalui pasar modal. Bagi perusahaan, IPO merupakan langkah untuk rnenaikkan "derajatnya". Kenapa? Karena menjadi perusahaan publik, mengharuskan perusahaan lebih transparan, lebih kompetitif dan lebih memiliki tanggung jawab. Sebab, sebagian kepemilikannya sudah berada di tangan banyak orang.

Di sisi lain, pemilik perusahaan yang melepas sahamnya juga dapat meraup dana dari publik. Dana yang diperoleh bisa jauh lebih besar dibandingkan modal yang ditempatkan ketika perusahaan baru didirikan. Sebab, harga saham yang dijual mencerminkan value atau nilai perusahaan tersebut, paling tidak dalam 3 tahun terakhir. Konkretnya, ketika sahamnya dijual ke publik, harganya bisa di atas nilai bukunya. Makanya, ada istilah 2 kali PBV (price book value), 3 kali dan seterusnya. Bergantung pada seberapa bagus value dan prospektif perusahaan tersebut.

Sementara, bagi masyarakat, membeli saham perusahaan publik merupakan cara termudah untuk bisa turut serta memiliki perusahaan. Jika perusahaan tersebut bagus, maka masyarakat juga akan menikmati hasilnya. Selain memperoleh dividen, juga berpeluang mendapatkan capital gain, apabila harga saham meningkat. Di sisi lain, jika perusahaan tersebut sudah tidak menjanjikan, dengan mudah pula sahamnya bisa dijual kepada pihak lain yang berminat.

Pertanyaannya, apakah semua saham yang dijual oleh perusahaan loyal( untuk dibeli? Jelas tidak. Ada kriteria-kriteria bagi investor di pasar saham ketika hendak membeli saham dari perusahaan yang go public, agar tidak tertipu, atau tidak seperti membeli "kucing dalam karung". Apa saja kriterianya? Ayo kita lihat.

Pertama, berapa jumlah saham yang akan dilepas ke publik. Semakin besar yang dilepas, akan semakin bagus. Ukuran umum adalah 30 persen. Kalau yang dijual ke publik di atas 30 persen, akan semakin banyak masyarakat yang berpeluang memiliki saham perusahaan itu dan secara teoretis akan banyak transaksi yang nantinya terjadi di pasar sekunder.

Kedua, kepada siapa saham tersebut dialokasikan. Ini juga penting. Di pasar modal dikenal istilah investor institusi, investor ritel, investor asing, dan juga investor lokal. Ketika perusahaan menjual sahamnya kepada publik, biasanya mereka sudah memiliki rencana untuk pengalokasian sahamnya. Berapa besar yang dialokasikan untuk investor asing dan berapa pula untuk lokal. Demikian pula untuk investor institusi dan juga investor ritel.

Apa makna dari pengalokasian itu? Kalau yang dilepas kepada investor ritel sangat sedikit, Anda perlu waspada. Sebab, saham yang akan dibeli, belum tentu likuid, alias belum tentu mudah untuk diperdagangkan. Investor institusi biasanya membeli saham tidak selalu untuk diperdagangkan. Demikian pula dengan alokasi kepada investor asing vs. investor lokal. Mestinya alokasi kepada kedua jenis investor tersebut berimbang. Jika tidak berimbang, apalagi misalnya untuk asing sampai 90 persen dan lokal hanya 10 persen, perlu juga dipertanyakan apa alasannya.

Ketiga, harga saham. Sebelum menjual sahamnya ke publik, perusahaan akan divaluasi dulu oleh pihak eksternal independen untuk menghitung berapa harga wajar dari sahamnya. Selain didasarkan aras kinerja dan prospek perusahaan bersangkutan, juga akan dibandingkan dengan pesaingnya di sektor yang sama. Barulah kemudian muncul kisaran harga, misalnya 2 kali nilai buku dan sererusnya. Selain itu juga ada indikator berupa PER (Price Earning Ratio), untuk melihat apakah harganya kemahalan, murah, atau wajar. Sebagai calon investor sebaiknya jeli mencermati indikator tersebut. Jika PER-nya lebih tinggi dibanding pesaing, Anda perlu berpikir dua kali sebelum membeli. Begitu juga dengan PBV-nya, harus dicermati apakah di atas pesaing, di bawah atau rata-rata.

Selanjutnya berdasarkan harga saham yang dipatokdan target persentase saham yang dilepas akan bisa dihitung berapa kapitalisasi pasar dari saham tersebut. Semakin besar kapitalisasinya akan semakin bagus. Sebab, kapitalisasi pasar yang besar mencerminkan kapasitas untuk terjadinya volume transaksi yang besar pula, sehingga sahamnya akan likuid atau mudah diperjualbelikan di pasar sekunder.

Keempat, potensi kenaikan/penurunan harga. Siapa pun yang membeli saham pada saat IPO pasti mengharapkan adanya capital gain dari saham tersebut, selain juga dividen, pica saham yang dibeli dipegang dalam kurun waktu cukup lama. Masalahnya, apakah capital gain akan pasti terjadi? Tidak ada yang bisa menjamin. Tetapi, secara teoretis, potensi capital gain itu bisa dideteksi dari besarnya permintaan terhadap saham dimaksud pada saat dilakukan penawaran kepada publik. Ini disebut dengan over/ under subscribe. Artinya, apakah permintaan berada di atas atau di bawah penawaran. Semakin besar jumlah permintaan dibandingkan jumlah saham yang ditawarkan, semakin besar potensi adanya up side atau kenaikan harga, ketika saham tersebut mulai diperdagangkan. Kenapa? Karena calon investor yang tidak kebagian beli di masa penjatahan, biasanya akan memburu saham dimaksud tatkala sudah listing. Itulah sebabnya, kenapa banyak saham langsung mengalami pelonjakan harga, pada saat mulai diperdagangkan.

Pertanyaannya, kalau Anda kebetulan termasuk yang beruntung bisa mendapatkan alokasi dari saham tersebut pada masa penjatahan, apakah kemudian langsung dijual ketika sahamnya mulai diperdagangkan di lantai bursa? Bergantung tujuan investasi Anda. Jika Anda yakin dengan kinerja perusahaan dan mengharapkan juga untuk memperoleh dividen tentu ada baiknya tetap dipegang sampai masa pembagian dividen tiba. Setelah itu, jika harganya sudah cukup tinggi, barulah dijual kepada pihak lain. Tetapi jika motif Anda hanyalah untuk trading jangka pendek, maka ketika up side terjadi di saat saham diperdagangkan, tidak ada salahnya juga untuk dilepas. Karena, jika kenaikan harga sudah terlalu tinggi, maka peluang untuk naik lagi sudah semakin terbatas.

Hal-hal yang dipaparkan tersebut, baru sekelumit aspek yang mesti diperhatikan jika Anda berminat membeli saham IPO. Sebab, dalam realitasnya, bukan tidak ada "jebalcan" di pasar modal yang malah bisa membuat Anda merugi, kalau salah dalam memilih saham IPO, khususnya terkait soal harga saham. Bisa saja, emiten dalam kurun waktu tertentu memang menjaga agar harga saham pasca IPO tetap menarik. Padahal dart sisi fundamental, harga saham yang dijaga tersebut tidak mencerminkan kewajaran. Artinya, harga yang terbentuk bersifat semu. Jika Anda mengetahui hal semacam ini, segera saja lepas saham tersebut. Karena kejatuhan harga hanya soal waktu. Selamat berinvestasi.
by: Elvyn G. Masassya
 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...