a

Friday, May 3, 2013

Kenapa Ini Terjadi Pada Saya

Jauh sebelum terpilihnya pahlawan kontemporer dunia seperti Barack Obama yang menjadi presiden Amerika Serikat yang ke-44 dan juga pemimpin besar dunia yang sangat dikagumi, hiduplah seorang yang bernama Arthur Ashe, pemain legendaris tenis Amerika Serikat. 

Kehadirannya pada akhir tahun 60-an sempat menyita perhatian dunia khususnya di cabang olahraga tenis. Ia adalah seorang kulit hitam pertama yang mampu meraih juara di turnamen bergengsi sekelas Grand Slam. Satu hal yang menarik dari pria yang berkulit hitam ini adalah ia menolak untuk dikenang atas pencapaiannya di dunia tenis. Baginya seorang Arthur keberhasilannya tidak diukur dari pencapaian dan posisi pekerjaannya. Ia merasa lebih bernilai jika diukur dari kontribusinya bagi dunia ini.

Lahir path tahun 1943 di Richmond Virginia, Arthur kecil harus berhadapan dengan realitas pahit saat itu, di mana ada perbedaan antara penduduk berkulit putih dan berkulit hitam. Namun stereotype yang telah dihidupkan lebih dari ratusan tahun tersebut, tidak menyurutkan semangatnya untuk membuktikan bahwa bukanlah warna kulit yang membedakan para juara. Ia menjadi lilin yang terang untuk mewakilkan suara kecil sebuah warga minoritas di negeri Paman Sam. 

Kegigihannya sudah terlihat ketika ia berhasil meraih beasiswa yang jarang diberikan kepada warga berkulit hitam di cabang olahraga tenis yang selalu didominasi oleh warga berkulit putih. Ashe berhasil menerima beasiswa dari universitas favorit, UCLA pada tahun 1963. Ashe tidak menyia-nyiakan beasiswa itu dengan memberikan kemenangan beregu bagi tim UCLA untuk meraih piala NCAA (kompetisi antara universitas di seluruh Amerika Serikat).

Pada tahun 1968, Arthur menghadapi perlakuan diskriminasi ketika hendak bertanding di kejuaraan Tenis Afrika Selatan. Rezim Apartheid yang berkuasa saat itu melarang Arthur karena warna kulitnya dengan tidak memberikannya visa untuk bertanding. Arthur Ashe memanfaatkan momentum ini dengan menyatakan protesnya agar dunia Tenis memboikot Afrika Selatan. Ia merasa sesuatu mesti berubah, bahwa manusia tidak diukur dari warna kulitnya. Momen ini dipakainya dengan sungguh-sungguh karena ia ingin membawa angin perubahan mengubah mata dunia untuk menghargat kelompoknya. Arthur memutuskan berkecimpung menjadi petenis profesional pada tahun 1969, dan mulai dari sana ia bergerak maju mengukir prestasi-prestasi yang tidak terbayangkan sebelumnya oleh ka-umnya. Dalam kurun waktu enam tahun berikutnya, ia mampu memenangi bukan hanya US Open, Australian Open, bahkan meraih piala bergengsi di Wimbledon Inggris dengan menyingkirkan lawan yang jauh lebih diunggulkan, yaitu Jimmy Connors.

Arthur masih bermain beberapa tahun kemudian dan seteiah operasi jantung pada tahun 1979, ia akhirnya mengakhiri kariernya pada 1980. Arthur harus berjuang dengan tantangan barunya, yaitu. penyakitnya. Ia melakukan operasi bypass jantung pada 1983 dan mengalami hal yang sangat di luar dugaan, akibat kurang sterilnya jarum suntik, ia terkena penyakit AIDS yang saat itu sangat baru bagi dunia kedokteran. Kemenangan-kemenangan yang diraihnya digantikan dengan perjuangan-perjuangan berat untuk menyelamatkan nyawanya, dan inilah titik yang memperlihatkan karakter seorang champion di dalam dirinya. Ia tidak menjadi lemah, ia bahkan menunjukkan sikap terus berjuang; ia tidak menjadi negatif dan menjauhi Tuhan tetapi menggunakan kesempatan ini untuk memberi kekuatan kepada mereka yang membutuhkan.

Satu hal yang menarik terjadi ketika ia membaca surat-surat yang dikirimkan oleh para fansnya dari seluruh dunia. Sebuah surat yang berisi keprihatinan digunakan Arthur untuk menunjukkan kualitas juara di dalam dirinya. Surat itu berisi sebuah pertanyaan bagi Ashe, surat itu berbunyi, "Mengapa Tuhan memilih Anda untuk menjalani hidup dengan penyakit yang buruk ini?" Arthur Ashe menjawab, "Di dunia saat ini ada 50 juta anak yang mulai bermain tenis, 5 juta mendapat kesempatan belajar tenis, 500.000 berhasil mengecap pelatihan secara profesional, 50.000 orang dipilih untuk bertanding dalam pertandingan lokal, hanya 5.000 yang mampu masuk dalam kejuaraan berskala Grand Slam, 50 orang terbaik terpilih untuk bertanding di Wimbledon, 4 pemain terbaik dipilih untuk bertanding di semifinal, 2 orang akhirnya bertemu di final dan SAYA MEMENANGKAN KEJUARAAN ITU! Ketika saya mengangkat piala itu, saya tidak pernah bertanya kepada Tuhan, "Mengapa saya yang menang?" dan sekarang ketika saya harus berhadapan dengan penyakit ini, saya pun tidak akan bertanya kepada Tuhan, "Mengapa SAYA yang dipilih-NYA?" Ketika kita tidak pernah menanyakan mengapa hal-hal yang terbaik terjadi di dalam hidup kita, seharusnya kita pun jangan mengeluh ketika hal-hal yang buruk terjadi di dalam hidup kita. Psikolog terkenal, Karl Young (1875-1961) pemah berkata, "Every coin has two sides, happiness and sadness are equally responsible for making the real life, if we feel happiness always, then there is no meaning of word happiness." (Bahwa setiap koin memiliki dua nisi, kebahagiaan dan kesedihan adalah dua hal yang bertanggung jawab menciptakan suatu anti kehidupan, jika kita selalu menikmati akan kebahagiaan, tidaklah berarti sama sekali kata bahagia itu.) Seseorang mengerti kebahagiaan ketika pemah berhadapan dengan kesedihan, seseorang mengerti arti tertawa ketika ia pernah menangis, seseorang mengerti arti sebuah kemenangan ketika ia pernah merasakan getirnya kekalahan. Faktor inilah yang membedakan antara seorang juara dan amatir dalam hidup ini. Para juara mampu mempergunakan kesedihan mereka sambil menatap pada kebahagiaan yang pasti datang. Mereka mampu menelan pahit kekalahan karena kemenangan berada di depan mata.
Ketika seorang Artur Ashe melangkah meninggalkan dunia, ia mewarisi legacy, begitu banyak hal yang membuat mereka yang ditinggalkannya mendapat kekuatan untuk melanjutkan hidup ini sebagai juara.

Jika Anda mendapatkan kesempatan hidup untuk kedua kalinya, Anda harus menuntaskan apa yang ingin Anda capai
By: Lance Armstrong, seven-time winner of the Tour de France
 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...