a

Tuesday, March 26, 2013

Investasi ala "Odong-Odong"


Benar, investasi adalah cara yang paling masuk akal untuk memupuk kekayaan. Ketimbang melakukan korupsi yang bermuara di penjara, atau menunggu warisan dan apalagi sekadar bermain lotre, maka investasi adalah tahapan paling akhir sebelum menuju posisi owner, dalam anak tangga kebebasan finansial. Jadi, tatkala seseorang memiliki tujuan hidup yang salah satu anak tangganya adalah tujuan keuangan, maka perjalanan menuju pencapaian tujuan dimaksud bisa dilakoni melalui bermacam cara, mulai dari menjadi karyawan, entrepreneur, dan atau investor, serta menjadi pemilik bisnis.

Namun, adalah benar juga, kekeliruan dalam berinvestasi merupakan salah satu sebab untuk menjadi miskin secara tiba-tiba. Jadi, seperti dua sisi mata uang, di investasi, menjadi cara paling modern untuk menghasilkan tambahan kekayaan, tetapi di sisi lain juga menjadi satu latar belakang, kenapa ada orang-orang yang mengakhiri usianya, menjadi frustrasi dan paling tidak semakin miskin, karena kegagalan dalam melakukan investasi.

Mengenai investasi yang berhasil, tentu bukan isu. Sudah banyak contoh yang menunjukkan betapa, jika investasi dilakukan secara baik dan benar, secara terencana dan konsisten, secara disiplin dan sabar, hasilnya akan luar biasa bagus. Sebaliknya, investasi yang semata-mata dilakukan demi tujuan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya kerap kali bermuara pada kegagalan.

Lantas apa yang menyebabkan investor mengalami kegagalan? Pertama, investasi yang dipilih tidak sesuai dengan karakteristik pribadi. Seorang "penakut" ketika bermain saham, kerap kali hanya berujung pada kerugian, karena tidak kuat menahan potensial loss. Ketika harga saham mengalami penurunan, langsung melakukan cut loss. Kedua, serakah. Kendati investor memiliki karakter risk taker, namun pemilihan investasi tidak berdasarkan logika. Alhasil yang diperoleh hanyalah "pepesan kosong".

Kendati sudah begitu banyak contoh-contoh investasi yang tidak masuk akal dan hanya menghasilkan rasa sesal, toh tawaran investasi sejenis tetap bermunculan. Bentuk investasi yang ditawarkan pun semakin beragam dan sophisticated. Lebih dahsyat lagi, yang menjadi korban bukan hanya kalangan awam, tetapi juga kalangan berpendidikan, kaum kelas menengah dan bahkan institusi.

Oleh karena itu, tidak ada salahnya dicermati kembali bagaimana sebenarnya lembaga "investasi bodong" yang menawarkan produk ala "odong-odong" bekerja, sebagaimana pernah terjadi, dana para investor tidak bisa dikembalikan, dan para pengelola investasi tersebut raib ditelan bumi.

Cermati imbal hasil yang ditawarkan. Adalah omong kosong jika ada sebuah lembaga mampu memberikan imbal hasil jauh di atas rata-rata pasar tanpa ada risiko di batik investasi yang dilakukannya. Misalnya, tingkat bunga deposito yang berlaku di pasar adalah 10 persen. Tetapi, ada lembaga yang menawarkan 40 persen pa. Atau 4 kali lipat imbal hasil pasar. Pasti ada yang aneh di batik imbal hasil tersebut. Apalagi, jika "bisnis model" dari pola pengelolaan investasi yang ditawarkan tidak transparan.

Tetapi ada juga yang "menghaluskan" penawarannya dengan menyebutkan return per bulan. Beberapa waktu lalu, sebuah lembaga pengelola "investasi" pernah menawarkan return 5 persen sebulan. Angka ini sebenarnya tidak terlalu luar biasa dibandingkan dengan tawaran investasi sejenis yang pernah menawarkan pengembalian hasil investasi sebesar 7 sampai 10 persen per bulan. Tidak jelas, apakah angka 4 persen tersebut sebagai suatu "muslihat" agar investasi yang ditawarkan terlihat masuk akal atau alasan lain. Namun, apa pun alasannya, investasi yang tidak dilakukan secara transparan patut mengundang pertanyaan. Dengan katalain, investor layak tahu, bagaimana pengelola investasi memutar dananya sehingga mampu menghasilkan keuntungan sebesar yang dijanjikan.

Pola penawaran investasi yang bersifat "odong-odong" seperti itu tidak lagi dilakukan secara stand alone, namun sudah bekerja sama bahkan dengan lembaga keuangan. Beberapa bank disinyalir menjadi agen penjual. Produk yang dijual sebenarnya bukanlah produk bank. Namun nasabah yang "serakah" tidak mempertanyakan lebih lanjut. Sudah telanjur silau karena produk tersebut dijajakan bank. Di sisi lain, demi mengejar komisi, oknum petugas bank juga melakukan "mis selling" dengan tidak menjelaskan bahwa produk tersebut sebenarnya bukan dari bank. Artinya, ada yang ditutup tutupi di sini. Ada pemerkosaan terhadap transparansi.

Kalaupun ada nasabah yang sedikit pintar, dan mempertanyakannya, maka pengelola investasi atau agennya hanya menjelaskan bahwa dana yang diraih akan digunakan untuk kegiatan bisnis. Pertanyaannya, apakah ada jenis bisnis yang bisa memberikan return sebesar angka itu? Katakanlah 4 persen per bulan atau 36 persen per tahun? Lagi pula kalau diperhitungkan dengan ongkos operasional, tentunya return dari bisnis dimaksud harus lebih besar dari 36 persen per tahun. Lalu bisnis apa gerangan yang seperti itu? Yang tahu hanyalah si pengelola investasi. Oleh karena itu, informasi mengenai investasi dan cara memproduktifkan dana nasabah mesti ditelaah secara detail.

Asumsikan, bahwa pengelola investasi benar-benar menggunakan dana investor untuk "diputar" dalam kegiatan bisnis, namun kenapa kemudian gagal memberikan imbal basil sebagaimana dijanjikan?
Bisnis, apa pun jenisnya memiliki life cycle. Kecuali si pelaku melakukan inovasi secara terus-menerus. Suatu ketika bisnis yang dijalani pasti mengalami surut. Itu satu fakta. Kemungkinan yang lain, bisnis juga memiliki daya serap terbatas. Artinya, ketika produk atau jasa yang dijual masih relatif kecil, mungkin pasar masih bisa menampung. Namun, kalau supply sudah terlalu besar, harga akan jatuh. Dalam bisnis yang sama, pasti juga banyak pelaku-pelaku lainnya. Berarti semakin lama, kompetisi semakin ketat. Dan berimplikasi pada pasar yang semakin sempit. Kalau semula, bisnis yang dijalani mungkin mampu memberikan imbal hasil 4 persen sebulan, maka pada masa-masa berikutnya bisa jadi mengalami penurunan atau bahkan negatif.

Hal yang dipaparkan tadi adalah analisis sederhana kenapa sebuah bisnis yang benar-benar "ada" bisa juga mengalami masa surut. Tapi, apakah investasi di bidang bisnis yang ditawarkan oleh pengelola investasi kebanyakan memang benar-benar menanamkan dana investor ke dalam bisnis nil seperti itu, atau sebenarnya tidaklebih dari money game? Apa pula itu money game? Sederhananya, dana milik investor A, dipergunakan untuk membayar bunga kepada investor B. Lalu dana milik investor B dipakai untuk membayar imbal basil kepada investor C. Demikian seterusnya. Sampai suatu ketika tidak ada lagi investor baru yang menanamkan dananya, atau dana yang tersedia sudah tidak mencukupi maka masalah akan muncul. Dan kebanyakan dalam investasi "bodong", modus seperti itulah yang terjadi.

Lantas apa yang bisa dipetik hikmahnya dari pelbagai fenomena investasi yang menyedihkan semacam itu? Pertama, jangan pernah berinvestasi hanya karena bujuk rayu. Meskipun yang membujuk Anda itu, sanak saudara, handai tolan, ataupun kerabat. Sebab, setiap orang memiliki karakter pribadi yang berbeda-beda termasuk dalam berinvestasi. Kedua, jangan pernah berinvestasi, jika tidak memahami bagaimana pengelola investasi memutar dana yang diinvestasikan. Apalagi kalau tidak transparan. Lupakan saja tawaran yang diajukan. Ketiga, jangan pernah berinvestasi jika semata-mata mengharapkan keuntungan. Investasi bukan mendatangi sinterklas. Investasi berkemungkinan mengalami kegagalan. Oleh karena itu, mesti dihitung berapa besar kemampuan menerima kegagalan investasi, tanpa membuat investor tiba-tiba miskin.

Simpulannya, investasi adalah suatu "tools" untuk mencapai tujuan keuangan investasi tidak berdiri sendiri, melainkan terkait dan memberi implikasi bagi kehidupan. Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk berinvestasi, tentukan dulu tujuan hidup dan tujuan keuangan. Bukan karena tergiur imbal hasil tinggi apalagi keserakahan.
by: Elvyn G. Masassya

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...