Benar, yang namanya orang kaya juga manusia biasa. Sebagai manusia biasa pasti ada sisi baik dan ada juga sisi buruknya. Tetapi, bagaimana mereka bisa menjadi orang kaya, tidak ada salahnya dicermati. Cara-cara yang menggunakan sisi baik, pantas untuk ditiru. Sementara itu sisi buruknya tentu harus dijauhi. Lantas bagaimana perilaku orang-orang kaya yang layak dijadikan referensi?
Bekerja lebih keras. Benar, sebagian orang-orang menjadi kaya, karena mendapatkan limpahan warisan keluarga. Akan tetapi, jauh lebih banyak yang menjadi kaya karena bekerja lebih keras dari orang kebanyakan. Bekerja lebih keras tentu saja tidak selalu secara fisik, tetapi juga secara pemikiran. Artinya, mereka yang sekarang menjadi kaya, melakukan banyak hal, melebihi orang-orang lain. Termasuk melakukan banyak pengorbanan, baik secara materi maupun nonmateri. Lihat, bagaimana orang-orang kaya berupaya membangun jejaring dengan banyak kalangan, misalnya. Artinya, mereka bergaul lebih luas. Mereka meluangkan waktu dan menepiskan kesenangan pribadi demi bisa mendapatkan banyak teman. Di sisi lain, orang-orang kaya melakukan banyak hal dalam satu hari, kebanyakan orang lain mungkin melakukannya dalam satu bulan. Singkatnya, bekerja lebih keras dan lebih cerdas, mestinya akan memberikan hasil yang lebih banyak ketimbang orang-orang yang tidak bekerja keras. Ini dimulai dari niat untuk kemudian dilaksanakan secara konsisten.
Kekayaan sebagai "sahabat". Orang-orang kaya yang menjadi kaya karena kerja keras, memahami bahwa kekayaan yang diperolehnya bukanlah sebagai imbalan, melainkan sebagai akibat atau konsekuensi dari apa yang diperbuatnya. Dengan demikian kekayaan bukanlah sesuatu yang ditunggu dan atau diberikan oleh pihak lain tetapi sebagai sesuatu yang diraih dengan perencanaan. Dampaknya, kekayaan tidak menjadi "orang asing", melainkan sebagai sahabat yang ditunggu-tunggu kedatangannya. Dan ketika "sahabat" itu tiba, tentu cara menyikapinya juga seperti seorang sahabat dalam arti yang sebenarnya. Konkretnya, "sahabat" tidak diperoleh secara seketika, namun melalui pertemanan yang lama, kemudian ada kecocokan. Demikian pula dengan kekayaan, yang datang dengan tiba-tiba akan mudah perginya. Tetapi, ketika kekayaan berproses seperti terjalinnya sebuah persahabatan, ia akan berpeluang menjadi langgeng. Dalam pengertian sehari-hari, kekayaan sebagai "sahabat" haruslah dirawat. Tidak boros. Tidak semena-mena menghabiskan kekayaan, apa pun alasannya.
Uang menghasilkan uang. Sebagian besar orang-orang kaya sangat paham bahwa uang yang diperolehnya bukan semata-mata untuk dibelanjakan, melainkan untuk diproduktifkan sehingga kembali menghasilkan uang. Jangan heran, jika Anda berhubungan dengan orang kaya dan meminta uang pada mereka, mungkin akan berkesan sangat pelit. Atau jika orang kaya tersebut memiliki perusahaan, ia juga tidak akan mudah untuk menaikkan gaji karyawannya tanpa alasan yang jelas. Namun, di sisi lain, orang-orang kaya juga bisa menjadi sangat royal. jika keroyalannya itu akan berdampak pada peningkatan kekayaannya. Sebagai misal, orang-orang kaya akan memberi bantuan kepada lingkungannya, dalam bentuk social responsibility. Ketika lingkungannya menjadi damai, maka orang-orang kaya itu bisa berbisnis dengan lebih leluasa, yang muaranya adalah menghasilkan uang lebih besar. Begitu pula ketika melakukan investasi. Orang-orang kaya sangat memperhitungkan berapa persen yang akan diperoleh. Kita mungkin akan mengatakan, kenapa sepertinya "serakah" sekali. Padahal, yang dilakukan oleh orang kaya itu adalah konsep uang menghasilkan uang. Konsep ini bisa dilakukan oleh siapa saja yang berpenghasilan, termasuk para karyawan/wati yang menerima gaji tetap. Tidak mungkin menjadi kaya, jika seluruh gaji dihabiskan untuk berbelanja. Tidak mungkin menjadi kaya, jika sebagian besar penghasilan tidak diproduktifkan lagi untuk menjadi uang. Begitu prinsipnya.
Uang bukan segalanya. Pandangan semacam ini juga dimiliki oleh banyak orang-orang kaya. Kendati untuk memperoleh kekayaan itu mereka bekerja keras, bahkan lebih keras dibandingkan orang kebanyakan, dan kemudian uang yang mereka peroleh diproduktifkan lagi secara maksimal, serta menjadikan kekayaan sebagai "sahabat", namun uang bukanlah solusi terhadap semua permasalahan hidup. Uang bisa membeli mobil, misalnya, tetapi uang tidak bisa membeli kesehatan. Uang bisa membeli rumah mewah dan kamar tidur yang nyaman, namun uang tidak bisa menjamin pemiliknya tidur dengan nyenyak. Konkretnya, ketika menjadi kaya adalah perlu, namun proses perjalanan untuk menjadi kaya tetap dilakukan dengan fun, dengan rasa bahagia. Uang dan kekayaan hanyalah sekadar alat untuk mencapai tujuan hidup melalui tujuan keuangan. Dalam arti yang lain, jika uang telah dimiliki, maka uang juga mesti digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup, kualitas kesehatan, kualitas kebahagiaan, dan lain sebagainya. Singkatnya, uang bukan menjadi tujuan, bukan segalanya, melainkan hanya sebagai alat semata-mata.
Menjadi kaya melalui proses yang disiapkan. Coba lihat di sekitar Anda, pasti ada kalangan yang sebenarnya kaya raya, tetapi perilakunya sama sekali tidak mencerminkan kelas sosial orang kaya. Kenapa? Karena ketika seseorang menjadi kaya, mestinya juga ada perbaikan dalam hal tatanan sosialnya, kemampuan meningkatkan edukasi, kemampuan untuk lebih memiliki tata krama, dan lain sebagainya. Apalagi, jika kekayaan itu diraih melalui cara-cara sebagaimana dipaparkan di atas. Dus, ada prosesnya. Beda, dengan orang yang menjadi kaya tiba-tiba, apakah itu karena menang lotre atau korupsi. Biasanya orang-orang kaya semacam ini tidak siap menjadi kaya. Hanya faktor kebetulan saja. Demikian juga
Dinamika Kekayaan: Belajar Bari Orang Kaya dengan kalangan yang ingin menjadi kaya melalui investasi "instan". Main saham dalam jumlah besar, lalu mengalami kerugian dan kemudian susah tidur atau malah bunuh diri. Kalangan seperti ini jelas sebenarnya belum siap menjadi kaya. Oleh karena itu, jika. Anda ingin menjadi kaya, maka persiapannya mesti dilakukan bukan saja dalam hal pengelolaan uang itu sendiri, melainkan juga mengelola perilaku diri. Selamat mencoba.
by: Elvyn G. Masassya
by: Elvyn G. Masassya