Jika Anda termasuk penggemar musik dan kerap membeli CD atau kaset atau malah pengguna Ring Back Tone (RBT), boleh jadi Anda sering kebingungan menghafal nama-nama penyanyi atau grup band baru. Ya, sejak beberapa tahun belakangan, industri musik Indonesia kebanjiran artis-artis baru. Hampir setiap hari ada saja CD atau kaset yang beredar. Ditambah lagi dengan program musik yang sangat gencar di berbagai televisi, maka boleh dibilang, tiada hari tanpa musik.
Industri musik telah membius banyak kaum muda, sebagai profesi yang menjanjikan. Banyak anak-anak muda, dengan sangat berani memilih menjadi artis, ketimbang bekerja kantoran ataupun menjadi wiraswasta. Tentu saja ini tidak salah. Adalah hak setiap orang untuk menentukan nasibnya sendiri. Dan lebih mengagumkan lagi, seiring dengan perkembangan musik yang demikian dahsyat, bermunculan pula berbagai perusahaan rekaman indie alias perusahaan yang memproduksi penyanyi dalam jumlah terbatas saja.
Pertanyaannya, apakah perusahaan semacam itu bisa sukses? Apakah menanamkan dana dalam industri musik bisa dianggap sebagai investasi? Tulisan ini akan membahas lika-liku industri musik sebagai alternatif investasi.
Industri musik pada dasarnya bisa dikategorikan menjadi 2 (dua) area besar, yakni industri musik panggung dan industri musik rekaman. Untuk industri musik panggung umumnya mudah dipahami oleh kalangan awam. Artis penyanyi mendapatkan kontrak untuk mengisi acara pada berbagai show. Dalam hal ini, yang mendapatkan kontrak bisa hanya si artis, bisa juga berikut band pengiringnya. Dewasa ini sudah cukup banyak kalangan yang menjalankan bisnis entertainment semacam ini, mulai dari menjadi agen artis atau sekaligus menyediakan segala sesuatu yang menyangkut industri musik panggung.
Sementara itu, untuk industri rekaman, prosesnya relatif lebih panjang. Seorang artis penyanyi yang akan membuat album rekaman, harus menyiapkan lagu-lagu yang akan dinyanyikan. Untuk itu, produser sang artis mesti membeli lagu-lagu dari pencipta lagu. Kemudian, lagu¬lagu yang terpilih mesti diaransir oleh penata musik. Bisa saja, seluruh lagu diaransir oleh penata musik yang sarna, tetapi bisa juga, satu lagu untuk satu penata musik. Jadi, kalau ada 10 lagu, berarti membutuhkan 10 penata musik.
Untuk mengaransir lagu-lagu tersebut, penata musik tentu membutuhkan pemain guitar, bass, keyboard, drum dan mungkin pemain musik lainnya. Ini tentu ada biayanya. Dan dalam proses pembuatan aransemen lagu-lagu, dilakukan di studio rekaman. Ini bisa dilakukan secara terpisah, ataupun bersama-sama dengan artis penyanyi. Keseluruhan proses produksi album tersebut tentu memakan biaya yang besar dan waktu yang cukup panjang. Malah, setelah lagu-lagu selesai diaransir dan dinyanyikan, masih ada proses selanjutnya yang disebut dengan mixing dan mastering, yakni semacam sentuhan akhir agar musik yang dibuat bisa terdengar lebih halus, bersih, dan sesuai dengan karakter lagunya. Semua proses tersebut disebut dengan pembuatan master rekaman. Apakah sudah selesai? Belum.
Pada tahap berikutnya, produser mesti melakukan duplikasi atau memperbanyak master rekaman itu menjadi CD dan kaset yang siap untuk diedarkan. Agar CD tersebut menarik perhatian, tentu mesti didesain sedemikian rupa, baik untuk informasi maupun penciptaan daya tarik visual bagi yang melihat CD tersebut. Setelah itu, barulah CD dicetak dan siap untuk didistribusikan ke toko-toko CD dan kaset.
Apakah ada jaminan, bahwa CD yang diproduksi tersebut akan laku di pasar? Sama sekali tidak ada. Kendati musik merupakan kebutuhan bagi semua orang, namun kadar kebutuhannya bisa berbeda. Ada yang sekadar mendengar musik dari radio atau televisi, tetapi ada juga yang ingin memiliki CD/kaset dari penyanyi yang disenanginya. Oleh karena itu, CD dan kaset dari penyanyi baru mesti dipromosikan, agar dikenal oleh masyarakat. Promosi itu bisa menggunakan jalur radio, televisi, surat kabar, majalah, dan bahkan pertunjukan dari si artis. Dan dalam praktiknya, biaya yang dikeluarkan si produser untuk promosi bisa lebih besar ketimbang biaya pembuatan master rekaman itu sendiri.
Jadi, kalau dihitung-hitung, main seorang produser musik rekaman mesti melakukan investasi untuk membayar artis, membayar pencipta lagu, membayar penata musik, menyewa studio rekaman, membayar biaya mixing dan mastering, membiayai proses re-produksi atau duplikasi dari CD dan kaset, serta menanggung pula biaya promosi si artis. Lalu bagaimana investasi tersebut bisa kembali? Ada 3 (tiga) sumber.
Pertama, dari basil penjualan CD/kaset. Tentu Anda pernah mendengar, di masa lalu ada penyanyi yang CD atau kasetnya laku sampai jutaan keping, sehingga si artis dan produser menjadi kaya raya karenanya. Namun, dewasa ini sangat sulit untuk bisa menjual CD/kaset sampai jutaan keping. Bisa laku ratusan ribu atau malah puluhan ribu saja sudah sangat hebat. Kenapa demikian? Karena saat ini banyak sekali artis bermunculan, sehingga di antara mereka terjadi persaingan yang ketat. Lebih dari itu, lagu-lagu si antis diputar di berbagai radio, sehingga para penikmat musik, lebih suka mendengarkan lewat radio dan belum tentu rnau membeli CD/ kaset dari si artis.
Kedua, ring back tone. Inilah alternatif baru dalam industri musik yang berkembang pesat dalam sate dasawarsa terakhir. Para pengguna telepon melakukan download terhadap lagu yang disukainya dan menjadikannya sebagai nada sambung pribadi. Sebagai suatu tren, fenomena ring back tone (RBT), sangat luar biasa. Karena sebuah lagu yang disukai bisa di download oleh jutaan pengguna handphone. Dan pendapatan yang diperoleh seorang produser serta artis dari bisnis RBT ini bisa jauh lebih tinggi dibandingkan basil penjualan CD.
Ketiga, pertunjukan si artis. Ketika si artis mulai beranjak populer, biasanya akan ada permintaan untuk show yang dilakukan di daerah-daerah. Untuk show tersebut tentu si artis dan produser selaku manajemen pengelola artis akan memperoleh pendapatan, yang nilainya bisa jutaan hingga puluhan juta rupiah untuk sekali manggung. Bayangkan, jika dalam sebulan ada 4 kali penampilan, dan honor sekali tampil adalah Rp10 juta, maka akan diperoleh Rp40 juta. Apalagi, jika sekali tampil dibayar sebesar Rp 30-40 juta, maka perolehan honor show bisa di atas pendapatan basil penjualan CD.
Pertanyaannya, apakah semua artis dan produser bisa meraup pendapatan sebagaimana dipaparkan barusan? Jelas tidak. Dalam realitasnya, bisa disebut, artis dan produser yang sukses dalam industri musik rekaman hanya 10 persen dari total pelaku. Kenapa demikian? Karena, yang namanya seni musik sangat bergantung pada selera pasar. Album rekaman dan artis yang akan sukses adalah yang mampu memenuhi selera pasar. Itulah realitas industri musik rekaman di Indonesia. Kendati begitu, tentu saja tetap ada peluang bagi orang-orang yang ingin menanamkan dananya dalam investasi musik. Sepanjang mampu memilih artis dan lagu yang disukai masyarakat, dan bisa melakukan program promosi secara efektif, kemungkinan besar sang artis dan produser akan menuai kesuksesan. Berani mencoba?
by: Elvyn G. Masassya