Sebagian dari Anda pasti pernah menjadi debitur bank. Meminjam kredit untuk berbagai keperluan. Bisa untuk menambah modal kerja usaha, atau meminjam uang bank untuk melakukan investasi, pembelian barang modal, membangun pabrik, dan lain sebagainya. Tetapi, ada juga yang menggunakan fasilitas kredit bank untuk membeli rumah atau kendaraan. Apakah salah? Jelas tidak. Meminjam kredit bank merupakan hal lumrah, karena fungsi bank memang sebagai lembaga intermediary. Bank rnenghimpun dana masyarakat dan meminjamkan kembali ke kalangan yang lain.
Yang jadi issue adalah, apakah pola Anda meminjam kredit bank sesuai dengan peruntukannya? Apakah Anda memiliki kemampuan membayar kembali dibandingkan dengan jumlah pinjaman yang diberikan?. Atau apakah penentuan suku bunga dari pihak bank sudah memenuhi azas fairness? Dan atau sesuai dengan karakteristik, keuangan Anda? Hal-hal tersebut layak untuk dibahas, mengingat hubungan bank dengan nasabah/ debitur sebenarnya setara dan merupakan simbiosis mutualisme. Dus, perlu ada pemahaman bagaimana mestinya relasi yang adil antara bank dan debitur dalam konteks fasilitas pinjaman.
Ketika Anda hendak mengajukan pinjaman, tentunya sudah didasari oleh berbagai pertimbangan, bahwa kredit bank merupakan cara yang terbaik untuk mencapai tujuan keuangan Anda. Sebut saja, Anda memiliki tujuan keuangan berupa kepemilikan rumah. Jika Anda menabung, dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk bisa memiliki rumah. Misalkan harga rumah saat ini adalah Rp250 juta. Anda bisa menabung sekitar Rp 10 juta per bulan, Berarti Anda mesti menunggu selama 25 bulan, atau lebih dari 2 tahun. Padahal, 2 tahun kemudian, harga rumah tadi sudah melonjak paling tidak 20-30 persen, sebagai pengaruh inflasi dan hal-hal lain. Dus, rumah tidak akan pernah bisa dimiliki, karena kemampuan Anda menabung berkejar-kejaran dengan kenaikan harga rumah. Oleh karena itu, salah satu solusinya adalah membeli rumah dengan menggunakan fasilitas kredit dan kemudian kredit tersebut diangsur sesuai dengan kemampuan keuangan Anda.
Untuk memiliki rumah melalui kredit bisa menjadi solusi yang tepat. Namun, jangan pernah menggunakan kredit modal kerja untuk membeli rumah. Ini akan menjadi malapetaka bagi Anda. Sebab, karakteristik angsuran kredit modal kerja sangat berbeda dengan kredit kepemilikan rumah. Oleh karena itu, jika peruntukannya adalah membeli rumah, rnaka. Anda mesti menggunakan kredit kepemilikan rumah alias KPR. Pertanyaannya, bagaimana skim KPR yang adil? Berapa tahun jangka waktunya? Bagaimana tingkat bunganya? Bagaimana pula fleksibilitasnya?
Mengenai jangka waktu, sebenarnya bukan masalah besar. Jika tujuan Anda adalah mengguunakan KPR untuk membeli rumah yang akan ditempati, maka jangka waktu akan menjadi variabel independen terhadap kemampuan Anda membayar kredit. Artinya, jika kemampuan membayar Anda cukup besar, jangka waktu pinjaman bisa lebih pendek. Sementara, jika kemampuan membayar Anda terbatas, jangka waktu kredit bisa lebih panjang, asalkan kredit tersebut bisa dilunaskan sebelum Anda memasuki usia tidak produktif. Dengan kata lain, ketika penghasilan berkurang, Anda tidak memiliki lagi kewajiban untuk mengangsur kredit rumah. Secara kelaziman, jangka waktu kredit untuk rumah bisa mencapai 5-10 tahun sesuai dengan kemampuan Anda. Dan jika kredit tersebut bisa tunas di kala Anda masih produktif malah akan lebih bagus. Kenapa? Karena setelah kredit rumah lunas, harga rumah yang Anda tempati telah mengalami peningkatan. Pada gilirannya, Anda dimungkinkan untuk menjual rumah tersebut dan pindah ke rumah yang lebih besar lagi.
Bagaimana dengan tingkat bunga? Jika Anda berpenghasilan tetap, akan lebih bagus Anda memilih tingkat bunga tetap, agar lebih mudah mengelola angsurannya. Tetapi, jika pilihannya bunga tetap, ada baiknya jangka waktu kredit tidak terlalu panjang. Sebab, hitungan bunga tetap adalah dari pokok pinjaman. Jadi jika pinjaman, katakanlah Rp250 juta, dengan bunga tetap 10 persen per tahun, maka walaupun Anda sudah mengangsur sekian tahun, tetap saja hitungan bunganya adalah cbri pokok pinjaman semula.
Pilihan bunga tetap akan baik, jika Anda yakin bahwa tingkat bunga akan terus meningkat. Sementara itu, di sisi lain, alternatif bunga mengambang akan baik, jika Anda memiliki keyakinan bahwa tingkat bunga akan terus menurun. Selain itu, perhitungan bunganya dikaitkan dengan saldo pinjaman. Artinya, jika di tahun pertama saldo Anda adalah Rp250 juta, maka setelah mengangsur setahun dengan angsuran pokok umpamakan Rp5 juta/bulan, maka pada tahun kedua, saldo pinjaman Anda tinggal Rp190 juta, dan bunga pinjaman diperhitungkan terhadap saldo pinjaman dimaksud.
Mana yang terbaik? balik lagi, bergantung pada kemampuan finansial Anda dalam mengangsur dan keyakinan Anda terhadap perkembangan tingkat bunga dari tahun ke tahun. Suku bunga tetap akan lebih rendah risikonya, lebih terkelola, namun bisa juga ongkosnya menjadi lebih mahal, sebab bisa jadi Anda kehilangan opportunity untuk menikmati bunga yang lebih rendah. Suku bunga mengambang, risk-nya bisa lebih tinggi, tetapi ongkosnya bisa lebih murah, jika ternyata suku bunga mengalami penurunan.
Yang terakhir adalah coal fleksibilitas. Artinya, apakah Anda bisa melunasi kredit kapan saja? Atau menurunkan saldo lebih cepat tanpa dikenakan penalti? Dalam hal ini tiap bank memiliki kebijakan yang berbeda. Lazimnya, jika pinjaman Anda dalam bentuk angsuran tetap dengan bunga tetap, biasanya jika dilakukan pelunasan dipercepat, akan dilakukan perhitungan ulang. Sementara, jika Anda menggunakan tingkat bunga mengambang, dengan saldo yang terus menurun, maka pelunasan pinjaman dipercepat akan lebih mudah. Sebab, hitungan bunga semata-mata berdasarkan saldo pinjaman.
Simpulannya, jika Anda memiliki keyakinan terhadap kemampuan finansial Anda dan Anda bemaksud untuk sewaktu-waktu melunasi pinjaman Anda, termasuk pinjaman dalam bentuk KPR, maka sejak awal harus sudah menyampaikannya pada pihak bank, sehingga fasilitas kredit yang diberikan pun akan lebih fleksibel untuk mengakomodasi kepentingan Anda. Selamat mencoba.
by: Elvyn G. Masassya