Kematian yang dialami pemegang kartu kredit, sebagai akibat ulah debt collector belum lama ini, bukan saja meresahkan banyak kalangan. Tetapi dipastikan mengagetkan bank penerbit kartu kredit itu sendiri. Kenapa? Karena penerbit kartu pasti tidak pernah menyangka bahwa hasil akhir dari upaya penagihan kredit yang tertunggak berujung pada kematian sang debitur. Sebab, utang piutang merupakan persoalan perdata. Sementara itu, kematian yang dialami pemegang kartu kredit tersebut telah masuk ke ranah pidana. Terlepas apa pun penyebab kematian tersebut, peristiwa ini telah mencoreng wajah penerbit kartu kredit dan juga membuat banyak pemegang kartu kredit merasa waswas.
Kisah terkait kartu kredit memang bukan hal Baru. Bukan saja soal pemasarannya yang luar biaya agresif dan bahkan sudah merambah ke area pribadi seperti memasok SMS ke telepon seluler dan melakukan pencegatan di mal-mal, sehingga membuat banyak kalangan merasa terganggu. Namun soal penagihan pembayaran kredit yang terlambat juga lebih mengenaskan. Pihak bank mengirim orang-orang tertentu dengan sebutan debt collector ke kantor pemegang kartu kredit tengah bekerja, sehingga membuat seluruh orang kantor tahu bahwa, tengah dikejar-kejar utang kartu. kredit.
Kenapa semua itu terjadi? Sederhana sekali. Karena ada kontribusi dari semua pihak, baik itu pihak penerbit kartu maupun pihak pemegang kartu kredit. Bagaimana maksudnya? Seberapa pun gencarnya pihak bank memasarkan kartu kredit, kalau calon konsumen "kuat iman" dan berpikir rasional tentu tidak akan terjadi debt overhang alias besar pasak daripada tiang di kalangan pemegang kartu kredit. Sementara itu, kalau pihak bank lebih memiliki etika, tentu tidak akan memasarkan produknya melalui SMS atau menelepon 3 kali sehari terhadap orang yang sama.
Hal ini bisa terjadi, karena dalam memasarkan produknya pihak bank kerap menggunakan perusahaan lain, atau disebut dengan outsourcing. Tenaga-tenaga pemasar di perusahaan lain itu diberi target dan mereka tidak peduli bahwa telepon mereka sudah mengganggu calon konsumen. Mereka beranggapan, dari 10 orang yang ditelepon, paling tidak ada satu atau dua orang yang tertarik dengan tawaran mereka.
Lanus bagaimana baiknya menyikapi itu semua? Anda sebagai calon konsumen kartu kredit tentunya mesti memahami bahwa kartu kredit hakikatnya adalah sebagai alat bantu pembayaran. Bukan sebagai alat untuk berutang. Ini prinsip yang paling mendasar. Artinya, memiliki kartu kredit bukan untuk menutupi kekurangan biaya kehidupan. Jika latar ini yang Anda terapkan ketika menginginkan kartu kredit, sama artinya dengan menggali lubang kubur utang. Anda dipastikan akan terjebak di dalam lubang tersebut dan sulit untuk keluar. Konkretnya, tidak perlu memiliki banyak kartu 'credit. Semakin banyak kartu kredit di dompet Anda sama sekali tidak menaikkan gengsi Anda. Yang terjadi adalah anggapan bahwa Anda orang yang gemar berutang. Kalau kondisi finansial Anda bagus, kemampuan tersebut tidak diperlihatkan dengan banyaknya kartu kredit, melainkan oleh jenis kartu kredit yang Anda pegang. Jadi 1 kartu jenis platinum sudah cukup dibandingkan 10 kartu jenis silver.
Oleh karena itu, agar Anda tidak masuk perangkap jebakan kartu kredit dan apalagi dikejar-kejar debt collector, tidak ada salahnya Anda renungkan beberapa hal berikut. Pertama, jadikan kartu kredit sebagai alat untuk memudahkan transaksi pembayaran. Ini artinya, tidak perlu memiliki banyak kartu kredit. Kedua, pilihlah penerbit kartu kredit yang credible dan tingkat bunga yang paling bersaing. Saat ini ada puluhan bank yang menawarkan kartu kredit dengan berbagai gimmick marketingnya. Jangan langsung terpukau. Di balik gimmick marketing itu pasti ada hitung-hitungannya. Baik itu dalam tingkat bunga, biaya administrasi, biaya keterlambatan, denda maupun annual fee.
Kebanyakan penerbit kartu kredit menggunakan tingkat bunga harian. Jika tidak jeli, Anda bisa terkecoh. Kenapa? Karena kalau dihitung secara tahunan, maka bunga yang dikenakan kepada Anda akan sangat besar. Belum lagi jika Anda membayar secara angsuran, jangan kira yang dihitung adalah sisa tunggakan, tetapi bunga akan tetap dihitung dari pokok tagihan. Katakanlah Anda berutang sejumlah Rp5 juta. Lalu saat tagihan datang, Anda hanya membayar Rpl juta. Maka tagihan pada bulan berikutnya, bunga yang dihitung bukan dari sisa kredit Anda sebesar Rp4 juta, melainkan dari Rp5 juta. Dan terhadap Rp5 juta itu bunga yang dikenakan terhadap Anda bukan bunga untuk 1 bulan, melainkan untuk 2 bulan. Sebab perhitungannya harian. Begitu seterusnya. Sehingga jangan heran, kalaupun tagihan itu Anda lunasi dalam kurun waktu 5 bulan mendatang, maka jumlah pembayaran yang mesti Anda lakukan akan sangat besar. Utang Anda akan bergulung seperti ombak tanpa pernah Anda sadari.
Ketiga, jika Anda sudah mengalami kesulitan dalam membayar utang kartu kredit Anda, jangan pernah menghilang atau melarikan diri. Anda akan dikejar-kejar seperti buronan dan ongkos sosial yang Anda tanggung akan sangat besar. Sebaiknya, Anda berinisiatif mendatangi pihak bank dan meminta utang Anda direstrukturisasi, misalnya menjadi cicilan tetap untuk sekian tahun. Cara ini akan lebih elegan dan bahkan lebih "ekonomis" ketimbang Anda sekadar membayar bunga. Sebab, pokok utang Anda tidak akan pernah berkurang. Di sisi lain, selama masa restrukturisasi, jangan pernah mempergunakan kartu kredit. Redam nafsu konsumtif Anda. Utang yang menggelembung itu suka tidak suka merupakan buah dari perilaku Anda sendiri yang Anda mesti menanggung akibatnya. Seperti kata pepatah, "berani berbuat harus berani bertanggung jawab".
Keempat, kalau karena suatu keadaan, Anda terpaksa berurusan dengan debt collector, tidak perlu membantah apalagi "menyuap" mereka dengan uang tip, agar Anda tidak lagi didatangi. Itu hanya menunda masalah. Dan tidak akan pernah selesai. Katakan pada debt collector bahwa Anda akan menyelesaikan kewajiban Anda dengan cara sebagaimana butir 3 tersebut. Kalau kemudian Anda diancam apalagi diperlakukan tidak sewajarnya, Anda laporkan saja pada pihak berwajib, sebagai perbuatan tidak menyenangkan dan ancaman. Sampaikan juga protes keras kepada pihak penerbit kartu. Dan kalau tidak ada solusi selesaikan saja secara hukum. Ini untuk menghindari soal kartu kredit yang berbasis urusan perdata melebar menjadi urusan pidana dan juga soal sosial. Yang penting, Anda memang memiliki niat baik untuk bertanggung jawab, bukan menghindar apalagi bermaksud mengemplang. Kalau memang tujuan Anda seperti ini, maka risiko yang Anda terima memang akan menakutkan.
by: Elvyn G. Masassya